Lihat ke Halaman Asli

Fahrul Rizal bin Iskandar

Peminat Sejarah Kuno

Sanggamara, Sebuah Doa Tolak Bala

Diperbarui: 24 Januari 2019   16:18

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Tampilan Tribun Sanggamara dari Kejauhan (Photo: Dokumen Pribadi)

Menjelang tahun 1930, semasa perang berkepanjangan melawan kolonialisasi Belanda, Teuku Masoer Leupung menuliskan sebuah hikayat dalam bahasa Aceh yang diberi judul Sanggamara. 

Kini istilah Sanggamara merupakan titel bagi tiap prajurit TNI AD yang bertugas di Komando Daerah Militer Iskandar Muda (Kodam IM), Aceh. 

Bahkan tribun yang terletak di tengah-tengah lapangan Blang Padang tempat upacara-upacara kemiliteran sering dilaksanakan, juga diberi nama sebagai Tribun Sanggamara.

Kiranya apa yang membuat istilah Sanggamara ini begitu penting? Setelah menelusuri berberapa sumber keterangan, rupanya Hikayat Sanggamara itu merupakan kritik sosial dari seorang pemikir Aceh yang saat itu yang juga merupakan Uleebalang/penguasa wilayah Leupung, Kabupaten Aceh Besar saat ini. 

Ketika hikayat ini ditulis, diyakini keadaan budi pekerti ataupun tata krama serta adat sopan santun di Aceh, khususnya Aceh Besar, sedang dalam kondisi kritis. 

Bagaimana tidak? Pengalaman peperangan dan pertempuran selama 57 tahun yang dipenuhi dengan kekejaman dan pembantaian dari tentara kolonial memaksa rakyat Aceh untuk merubah karakternya dari masyarakat yang sangat memuliakan tamu menjadi pasukan berani mati. 

Padahal ibukota Banda Aceh sebagai Kuta Raja dahulunya merupakan kota kosmopolitan dimana setiap orang dapat menduduki jabatan penting dalam urusan pemerintahan tak pandang dari mana asalnya. 

Sejarah mencatat bahwa Perdana Menteri Kesultanan Aceh pernah dijabat oleh seorang keturunan Arab, posisi Menteri Luar Negeri pun pernah diampu oleh seorang keturunan India, bahkan keluarga Sultan terakhir yang berkuasa pun dikenal sebagai Dinasti Bugis, yaitu keturunan orang bugis yang kemudian diangkat menjadi Sultan di Aceh.

Oleh sebab banyaknya nilai-nilai sosial yang berlaku di masa lampau telah hilang seiring dengan lahirnya berbagai pertempuran, maka Sanggamara lahir sebagai kritik sekaligus peringatan bagi semua kalangan. 

Pujian atas karya ini pun kemudian datang dari berbagai pihak termasuk dari Teuku Panglima Polem Sri Muda Perkasa Muhammad Daud, yang saat ini kita kenal sebagai salah seorang pahlawan kemerdekaan asal Aceh. 

Bahkan Stammeshaus, kontroler Belanda di Lhoknga-Aceh Besar, memuji Hikayat Sanggamara dan menganjurkan agar setiap orang luar yang datang ke Aceh mempelajarinya sebagai panduan cara bergaul dengan orang Aceh.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline