Agar Pembangunan Provinsi Aceh Dapat Berkelanjutan dan Berwawasan Lingkungan Hidup
Perizinan yang telah di atur dalam peraturan perundang-undangan berfungsi untuk:
- Mengatur tindakan penerima izin;
- Rekayasa pembangunan melalui penerapan kaidah-kaidah ilmu dalam pelaksanaannya untuk melahirkan insentif dan multiplier effect ekonomi;
- Memberdayakan masyarakat dan Badan Usaha;
- Membina dan mengawasi serta memberikan perlindungan dan kepastian hukum dalam penyelenggaraan perizinan
Menyongsong Tahun Anggaran 2019 yang telah diawali dengan pengesahan APBA (istilah untuk APBD Provinsi Aceh) secara berkualitas dan tepat waktu, maka upaya untuk menjaga agar proses pembangunan fisik tetap berwawasan lingkungan adalah penting bagi kelanjutan pembangunan itu sendiri. Dalam pelaksanaan pembangunan Aceh, sektor penunjang utama yang menjadi input dalam pembangunan infrastruktur baik berupa Bangunan Gedung maupun Bangunan Sipil adalah sektor pertambangan material konstruksi bahan bangunan yang mana termasuk dalam komoditas tambang batuan sesuai ketentuan Peraturan Pemerintah Nomor 23 Tahun 2010 tentang Pelaksanaan Kegiatan Usaha Pertambangan Mineral dan Batubara ("PP Minerba")
Jenis komoditas tambang batuan yang umum dimanfaatkan dalam pekerjaan konstruksi antara lain: kerikil galian dari bukit, kerikil sungai, batu kali, kerikil sungai ayak tanpa pasir, pasir urug, pasir pasang, kerikil berpasir alami (sirtu), bahan timbunan pilihan (tanah), rukan tanah setempat, dan tanah merah (laterit).
Material bahan konstruksi memiliki peran timbal balik pada APBA, yaitu selain sebagai konsumsi tetap dalam pembangunan infrastruktur dapat pula menjadi sumber pendapatan Aceh dalam bentuk Pajak Penghasilan, PBB, BPHTB, dan Pajak Daerah apabila fungsi perizinan telah optimal dimanfaatkan.
Untuk mewujudkan pembangunan berkelanjutan serta berwawasan lingkungan maka dibutuhkan komponen hukum yang mengatur tentang perizinan usaha penambangan material bahan konstruksi agar proses distribusi pendapatan, peningkatan kompetensi Sumber Daya Manusia (SDM), dan ketahanan sosial tumbuh berkembang ke arah yang lebih baik.
Dalam upaya tersebut Pemerintah Aceh dapat menggunakan kewenangannya terkait dengan penerbitan Izin Usaha Pertambangan (IUP). IUP kemudian menjadi alat kontrol pemerintah dalam pengendalian lingkungan sekaligus sebagai alat distribusi pendapatan bagi masyarakat dan badan usaha yang bersumber dari belanja infrastruktur Provinsi maupun Kabupaten/Kota. Dampak penatalaksanaan IUP secara rinci dalam bentuk sebagai berikut:
- Penertiban IUP akan menjamin keterbukaan lapangan kerja secara berkesinambungan
- Memfungsikan IUP yang sesuai dengan wilayah Kabupaten/Kota lokasi pekerjaan sebagai persyaratan substansial dalam lelang jasa konstruksi bangunan sebagai upaya pendistribusian pendapatan dari belanja pemerintah
- Dapat mengoptimalkan pendapatan pajak-pajak dari usaha pertambangan
- Dengan pengembangan SDM yang terarah maka akan terwujud suatu perkumpulan pemegang IUP sebagai alat kontrol ketahanan sosial
- Perkumpulan/asosiasi pemegang IUP tersebut dapat pula berfungsi sebagai kontrol lingkungan hidup
Untuk diketahui bersama bahwa yang disebut sebagai galian C dalam istilah masyarakat umum pada prinsipnya merupakan jenis mineral bukan logam dan batuan yang menjadi material utama bahan bangunan gedung dan bangunan sipil dimana kegiatan usaha pertambangannya wajib memiliki IUP sesuai ketentuan perundang-undangan.
Berdasarkan Pasal 2 ayat (2) huruf d PP Minerba, Galian C termasuk kedalam jenis komoditas tambang batuan; meliputi: pumice, tras, toseki, obsidian, marmer, perlit, tanah diatome, tanah serap (fullers earth), slate, granit, granodiorit, andesit, gabro, peridotit, basalt, trakhit, leusit, tanah liat, tanah urug, batu apung, opal, kalsedon, chert, kristal kuarsa, jasper, krisoprase, kayu terkersikan, gamet, giok, agat, diorit, topas, batu gunung quarry besar, kerikil galian dari bukit, kerikil sungai, batu kali, kerikil sungai ayak tanpa pasir, pasir urug, pasir pasang, kerikil berpasir alami (sirtu), bahan timbunan pilihan (tanah), rukan tanah setempat, tanah merah (laterit), batu gamping, onik, pasir laut, dan pasir yang tidak mengandung unsur mineral logam atau unsur mineral bukan logam dalam jumlah yang berarti ditinjau dari segi ekonomi pertambangan.
Di antara kewenangan Pemerintah Daerah Provinsi berdasarkan Undang-undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah merupakan penerbitan izin usaha pertambangan mineral bukan logam dan batuan dalam rangka penanaman modal dalam negeri pada wilayah izin usaha pertambangan yang berada dalam 1 (satu) Daerah provinsi termasuk wilayah laut sampai dengan 12 mil laut.
Sesuai ketentuan UU Minerba Pasal 158, setiap kegiatan usaha penambangan yang dilakukan tanpa IUP merupakan perbuatan yang dapat dipidana dengan pidana penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun dan denda paling banyak Rp 10.000.000.000,00 (sepuluh miliar rupiah).