Setelah tiga tahun berjalan, kebijakan B20 akhirnya mendapat sorotan KPK sebagaimana pada IG official.kpk1 tertanggal 12 November 2018 terdapat poin dimana merekomendasikan pada Dirjen EBTK untuk merevisi kebijakan implementasi FAME 20%.
Adapun kilas balik kebijakan B20 setidaknya dapat dilihat dari Permen ESDM No. 29 Tahun 2015 tentang Penyediaan dan Pemanfaatan Bahan Bakar Nabati (Biofuel) Jenis Biodiesel dalam Kerangka Pembiayaan oleh Badan Pengelolaan Dana Perkebunan Kelapa Sawit yang kemudian dicabut dan diganti dengan Permen ESDM No. 26 Tahun 2016 tentang hal yang sama.
Berdasarkan Pasal 18 Permen ESDM 26/2016, badan usaha niaga umum BBM yang tidak melaksanakan pencampuran biodiesel ke dalam solar akan dikenai sanksi administratif, berupa denda hingga pencabutan izin usaha.
Namun demikian di penghujung tahun 2016 kebijakan B20 ini ternyata telah menimbulkan polemik antara Pemerintah dan Industri Otomotif.2 Saat itu diberitakan bahwa Direktur Pusat Studi Kebijakan Publik (Puskepi), Sofyano Zakaria, sudah mewanti-wanti bahwa penggunaan kebijakan B20 akan berbahaya bagi industri otomotif dan perkapalan.
Sejalan dengan Direktur Puskepi, masyarakat otomotif pun memberikan catatan khusus pada B20 diantaranya adalah viskositasnya terlalu tinggi, reaktif dengan karet alam, dan dikhawatirkan bersifat korosif karena kandungan asam bahan bakar nabati.3
Anomali harga solar subsidi dengan non subsidi dimana harga subsidi cenderung menjadi lebih mahal dari solar non subsidi yang dituding sebagai akibat kebijakan B20 terjadi dipertengahan atahun 2016.4 Seolah memperkuat gambaran carut-marut kebijakan B20, Tim Litbang Kedeputian Pencegahan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) () menemukan indikasi bahwa tata laksana penetapan kuota (impor -pen) yang tidak transparan, pemenuhan persyaratan FAME 20 perse dan bioethanol 2% tidak efektif dan persoalan pelaksanaan survei oleh surveyor yang ditunjuk Kemendag dengan biaya pelaksanaanya dibebankan kepada badan usaha yang bersangkutan.5
Berdasarkan keterangan Kepala Tim Litbang KPK pada awak media setelah melakukan studi sejak November 2017 - Februari 2018 bahwa celah penyimpangan adalah ketentuan bahwa badan usaha yang akan mengimpor solar memiliki kewajiban untuk melampirkan kontrak FAME 20%, namun Tim ESDM tidak memiliki sumber daya yang cukup untuk melakukan verifikasi aktual kontrak-kontrak FAME yang ada sehingga besar kemungkinan kontrak-kontrak FAME tersebut fiktif dan hanya formalitas untuk mendapatkan kuota impor BBM.7
Akhir yang sangat disayangkan apabila kebijakan B20 yang awal mulanya bertujuan untuk meningkatkan kesejahteraan petani sawit malah menjadi bagian dari coreng-moreng industri BBM Nasional yang memang memiliki sejarah panjang akan carut-marutnya.
Referensi:
- https://www.instagram.com/p/BqFAj2KlnVY/
- http://beritatrans.com/2016/09/14/kebijakan-fame-b-20-luhut-pandjaitan-berbahaya-bagi-mesin-mobil-dan-kapal/
- https://otomotifnet.gridoto.com/read/02178478/biodiesel-b20-siap-sambut-tapi-dengan-catatan?page=all#!%2F
- https://news.detik.com/kolom/3226158/perdebatan-solar-bodong-vs-fame-20
- https://finance.detik.com/energi/d-4314923/kpk-pelototi-proses-impor-bbm-ini-hasilnya
- https://katadata.co.id/berita/2018/11/23/kpk-temukan-potensi-korupsi-kebijakan-b20
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H