SMAN 1 Talun, Kabupaten Blitar, mengadakan sebuah ajang menarik bernama Lokasatra (Lomba karya seni, bahasa dan sastra) tingkat SMP/SMA se-Blitar raya.
Lokasastra 2021 ini adalah salah satu dari rangkaian HUT SMAN 1 Talun ke-47.
Saya berkesempatan menjadi salah satu juri untuk cabang lomba pidato. Ada 3 dewan juri, Dua juri lain ternyata dari guru SMANTA. Saya mewakili juri dari luar.
Agenda ini sangat menarik, apalagi digelar oleh sebuah SMA Negeri di Kabupaten Blitar. Semacam olimpiade non akademik tingkat SMP dan SMA, yang saya lihat justru tidak diikuti oleh siswa siswi SMANTA sendiri.
Dari kontestan yang saya nilai misalnya, tidak ada perwakilan dari SMANTA, termasuk daftar juara yang diumumkan untuk kategori lainnya.
Selain pidato, yang dilombakan dalam Lokasastra ini adalah lomba menulis esai, tari kreasi, nyanyi solo, story telling, geguritan dan cipta puisi.
Menariknya lagi, ajang ini seperti memberikan ruang bagi bakat non akademik, khususnya dalam bidang seni dan bahasa. Sebagai lulusan kelas bahasa, tentu saya sangat senang ada agenda seperti ini, mengingat selama ini ruang seni dan bahasa kurang begitu diperhatikan, jika dibandingkan ilmu-ilmu eksakta.
Kebutuhan akan seni
Penulis buku Untuk Apa Seni, Prof. Bambang Sugiharto dari Universitas Parahiyangan Bandung pernah melayangkan kritik kenapa seni kerapkali dijadikan keterampilan tambahan. Nyaris mereka yang memiliki keterampilan seni, tak dianggap setara dengan mereka yang ahli di bidang eksakta.
Secara praksis hal itupun mungkin juga kita rasakan, misalnya kenapa anak pandai matematika, atau anak IPA, cenderung dianggap lebih unggul dan lebih pintar dibandingkan anak non IPA.
Bahkan sekalipun dulu saya masuk kelas bahasa, predikat siswa pintar itu masih dilekatkan pada mereka yang nilai matematikanya bagus.