Salah satu problem literasi yang perlahan mulai teratasi adalah ketersediaan bacaan, hal itu juga didukung oleh kemajuan teknologi informasi, ketika bahan bacaan diformat dalam bentuk digital.
Ketersediaan bacaan sangat penting bagi masyarakat. Pemerintah secara kelembagaan bertugas mendirikan Perpustakaan, baik Perpustakaan dalam lingkup sekolah, desa, kecamatan, hingga daerah tingkat kota/kabupaten.
Taman baca juga mulai marak, lapak baca atau perpustakaan jalanan kini juga ramai kita temui, dan seolah menjadi passion tersendiri.
Namun, ketika bahan bacaan sudah tersedia, seperti buku, koran, majalah, ebook, situs internet dan lain sebagainya, adakah yang membacanya?
Ya, tugas berikutnya adalah membangun budaya baca. Ini penting, agar buku-buku tidak hanya tersimpan rapi pada rak-rak Perpustakaan, malah sebagian rusak termakan rayap karena jarang diambil orang untuk dibaca.
Di sisi lain, budaya baca via sosial media terbilang cukup tinggi, hanya perlu diarahkan pada jenis bacaan yang sekiranya bisa memberikan input positif, sebab di sosial media bertebaran berita hoaks yang memecah belah anak bangsa.
Dimulai dari diri sendiri
Budaya baca bisa dimulai dari diri sendiri. Ini bukan hal sulit, jika misalnya kita luangkan waktu 10 menit saja per hari.
Dalam sehari ada 24 jam, dalam 1 jam ada 60 menit. Artinya dalam sehari ada sekitar 1440 menit. Dari total 1440 menit itu, sisihkan saja 10 menit untuk membaca. Tentu tidak berat, sebab masih ada sisa 1430 menit untuk beraktifitas lainnya.
Jika 10 menit digunakan untuk membaca buku, dalam kecepatan standar, minimal bisa membaca 10 lembar. Sehari 10 lembar, dalam sebulan bisa 300-an lembar. Artinya bisa khatam 1 buku.
Dalam setahun sekurang-kurangnya bisa khatam 12 buku, tanpa terasa. Cukup hanya menyisihkan 10 menit saja dari 1440 menit yang tersedia. Upaya ini perlu konsisten dan kontinu.
Keluarga juga penting. Sudut rumah, terutama ruang tamu dan ruang tengah, jangan sampai sepi dengan buku. Usahakan buku adalah benda yang familiar dipandang orang-orang rumah.