Lihat ke Halaman Asli

Ahmad Fahrizal Aziz

Penulis, Blogger

PKI dan Peci Soekarno

Diperbarui: 17 Juni 2015   07:28

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Sejak film “Senyap” banyak diputar di cafe, warung, serta forum-forum diskusi. Gairah untuk mendiskusikan kembali komunisme semakin menyeruak. Hal inilah yang sempat diusulkan Gus Dur ketika menjadi Presiden, yaitu agar diskusi terbuka tentang komunisme, termasuk diantaranya PKI, terutama sebagai ideologi tidak mengalami pambatasan. Meskipun komunisme sendiri masih belum mendapatkan ijin resmi secara institusional. Selain itu, resistensi terhadap paham komunis juga masih kuat mengakar dalam Masyarakat kita.

Di Malang sendiri, nobar film Senyap di Warung kelir sempat terhenti karena ada sekelompok orang yang tidak ingin komunisme diperbincangkan. Di Blitar, terutama Blitar selatan tempat kelahiran saya, komunis dalam arti PKI juga begitu di waspadai. Konon, Blitar selatan menjadi eksodus pengurus, kader, dan simpatisan PKI. Konon pula, Pemimpin PKI Jawa Timur, Ruslan Widjajasastra juga mengungsi ke Blitar ketika terjadi konflik PKI dan Militer di Madiun pada tahun 1966 itu.

Dalam literatur sejarah, Blitar selatan dipilih karena dianggap daerah yang aware kepada PKI. Mayoritas masyarakatnya yang petani, membuat Blitar menjadi tempat eksodus yang tepat. Saya tidak tahu pastinya, karena tahun 1966 Bapak saya saja baru lahir. Kakek saya baru berusia 21 tahun. Namun menurut cerita kakek, para eksodus PKI tersebut memang sempat terlibat konflik dengan kaum santri. Bahkan konflik tersebut memunculkan trauma yang hebat. Orang-orang PKI dinilai tidak memiliki rasa hormat dengan para Kyai. Pada titik inilah kira-kira, resistensi terhadap PKI itu bermula. Sampai tercetus istilah “PKI anti Tuhan”.

Resistensi terhadap PKI itu pun berlanjut, bahkan di Masyarakat maupun di Lembaga pengajian. Saya sering mendapatkan petuah khusus tentang PKI. Ustad saya sering berkata kalau orang PKI meninggal, mereka tidak punya surga atau neraka. Karena mereka tidak percaya Tuhan. Petuah itu begitu melekat. Inilah yang sempat membuat saya bingung, ketika para pakar sejarah atau orang diluar warga Blitar selatan berkata bahwa Blitar sangat terbuka dengan PKI. Padahal senyatanya, PKI sangat dibenci disini. Bahkan Kakek saya, yang tidak terlalu santri pun juga sangat membenci PKI.

Tapi yang aneh, warga Blitar sangat menghormati dan menjunjung tinggi sosok Soekarno. Bahkan daerahnya pun disebut Bumi Bung Karno. Setiap musim kampanye, foto Soekarno rata-rata menjadi Background para caleg. Padahal, meski bukan anggota PKI, Soekarno adalah tokoh penting yang memberikan Patronase kepada PKI dan menjadikan Komunisme sebagai bagian dari gagasan ideologisnya, yaitu Nasakom.

Yang aneh pula, sekarang ini, banyak pihak yang mengatakan bahwa komunisme di Indonesia tengah bangkit, seiring dengan terpilihnya Jokowi sebagai Presiden. Sementara disatu sisi, gagasan-gagasan Soekarno, termasuk diantaranya anti imperialisme dan anti asing juga didengungkan dan didukung. Bahkan Quote Soekarno, yang berisi himbauan jangan memilih tokoh yang didukung Amerika, juga sangat diyakini oleh sebagian besar masyarakat Indonesia.

Padahal, Soekarno menjadikan PKI kala itu, sebagai backing atas gagasannya. Kedekatan Soekarno dengan Uni Soviet dan RRC/RRT juga bagian dari politik luar negerinya. Pidatonya tentang new emerging forces yang menentang gagasan barat juga memperlihatkan dengan jelas sikap politiknya. Apalagi, setelah ia membentik poros Jakarta-Peking, hingga keluar dari PBB.

Namun agaknya, tidak ada niat Soekarno untuk sepenuhnya menjadikan Indonesia sebagai negara sosialis-komunis, dan Soekarno ingin menjadikan Indonesia pemimpin dalam perang dunia kala itu. Tentu bukan perang militer, melainkan perang ideologi, politik dan ekonomi. Soekarno membaca kedepan bahwa Imperialisme akan menghisab negara-negara kecil tak berdaya, namun memiliki potensi sumber daya alam yang melimpah. Disinilah, kedekatan Soekarno kepada negara-negara komunis seperti Uni Soviet dan Tiongkok, harusnya dimaknai sebagai upaya untuk menjaga dunia dari ancaman imperialisme.

Soekarno pun paham jika Komunisme murni tidak bisa diterapkan di Indonesia, termasuk sebagai ideologi. Tapi, komunisme bisa menjadi alat untuk melawan Imperialisme. Karena dengan itulah negara-negara bisa mendapatkan perlindungan dari para plutokrat atau pemodal. Ia juga paham bahwa karakter dasar Bangsa Indonesia adalah Masyarakat Religius. Selain itu, berdirinya Indonesia juga ditopang oleh gagasan Nasionalisme. Karena itulah tercetus Nasakom.

Andaikan Nasakom ini benar-benar terealisasi secara utuh, baik secara ideologi, pandangan politik dan ekonomi, mungkin saja .. mungkin ... kita bisa lebih besar dari Tiongkok saat ini. Tapi memang tidak mudah juga menyatukan tiga hal yang saling bertentangan. Bertentangan secara literal maupun kepentingan Politik. Karena kala itu, kekuatan Agama dimiliki oleh Masyumi, dan Komunisme oleh PKI. Sementara Pak Karno sendiri memimpin gagasan Nasionalisme. Masyumi dan PKI ibarat air dan minyak. Disinilah, terjadi conflict of Interest, hingga mucul PRRI.

Padahal, gagasan untuk menyatukan komunisme dan Islam sendiri juga sudah pernah dibuat oleh HOS Cokroaminoto, melalui bukunya “Islam dan Sosialisme”. Namun sayang, ketika paham sosialisme itu masuk ke tubuh Islam, yang secara institusional kala itu diwakili Sarekat Islam, akhirnya muncul kubu putih dan merah. Kubu merah inilah yang kemudian menjelma menjadi PKI. Dan Soekarno, agaknya tidak ingin menjadi bagian diantara salah satunya, dan kekeh memperjuangkan paham kebangsaan yaitu Nasionalisme.

Namun yang terpenting, moment kali ini, ketika komunisme kembali diperbincangkan, adalah kesempatan untuk memberikan pamahaman dan penalaran sejarah kepada generasi muda kita, agar tidak terus terbayang-bayang oleh konflik masa lalu, maupun dendam sejarah. PKI tidak sesederhana sebagai gerakan anti Tuhan, tapi banyak hal yang lebih substansial yang bisa dibahas. Salah satunya, kenapa Soekarno kemudian menjadikan kemunisme sebagai bagian dari gagasan ideologisnya, dan memilih negara-negara komunis sebagai partner politiknya.

Apakah kemudian Soekarno juga anti Tuhan sebagaimana sangkaan yang selama ini dilekatkan kepada PKI? Tentu saja tidak. karena hingga akhir hayatnya, Soekarno masihlah seorang Muslim yang taat, Ia Murid tokoh Sarekat Islam, Soekarno juga naik Haji dan memberikan masukan konstruktif kepada Raja Arab untuk memugar tempat itu agar mampu menampung banyak orang. Soekarno juga lah yang membuat Uni Soviet sungkan karena telah memperlakukan Masjid sebagai gudang, hingga akhirnya Masjid itu dipugar dan kini dikenal dengan Masjid Soekarno. Bahkan makam tokoh Hadits besar Imam Bukhari, yang ditelantarkan Pemerintah Uni Soviet, juga mendapatkan perhatian serius karena campur tangan Soekarno.

Belum lagi, gagasan untuk mendirikan Masjid Istiqal sebagai Masjid terbesar di Asia tenggara, juga gagasan Soekarno. Dan yang pasti, kemanapun, bahkan dalam pertemuan dengan Para Pemimpin dunia, Soekarno masih mengenakan Peci atau Songkok yang merupakan ciri khas Muslim di Indonesia. Maka tak menjadi soal, jika mendiskusikan komunisme, sambil mengenakan Peci dan memulai diskusi dengan ucapan ... Basmallah. (*)

Blitar, 1 Mei 2015

A Fahrizal Aziz

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline