Tiap kali memperingati peristiwa Isra' Mi'raj, saya tertegun pada cara Allah menghibur Rasulullah setelah tahun kesedihan. Dalam catatan sejarah, Isra' Mi'raj terjadi pada 621 M, dua tahun setelah wafatnya sang istri tercinta, Siti Khadijah dan paman beliau, Abu Thalib. Dua sosok penting dalam perjuangan dakwah Islam itu pun pergi untuk selamanya.
Dua kata menarik dari peristiwa itu: perpisahan dan pertemuan. Seperti apa menjelaskan sebuah pertemuan? Mengapa ia tetap menjadi salah satu misteri dalam semua episode kehidupan manusia? Benarkah kita tidak punya pilihan untuk semua lakon itu?
Pernahkah kita bisa tahu atau memilih ingin dilahirkan oleh ibu seperti apa dan ingin memiliki ayah seperti apa, juga mereka yang kita cintai? Pernahkah kita mampu mengendalikan sepenuhnya ingin bertemu dan bekerja sama dengan siapa? Pasti tidak mungkin. Ruang itu bukan kewenangan manusia.
Pertemuan antarpribadi pada titiknya membentuk ruang kolektif dan komunal yang beragam. Relasi pun tercipta. Dengan beragam norma dan aturan, tanpa kita sadari sebenarnya kita sedang melegitimasi kemisterian sebuah pertemuan menjadi salah satu gejala wajar. Kewajaran itulah yang menempatkan kita dalam berbagai relasi kemanusiaan.
Bertemu karena Allah
Seorang anak manusia lahir. Ia langsung bertemu ibu dan ayahnya juga saudara-saudaranya yang lain. Adakah ia memiliki kekuatan dan iradah untuk mendesign pertemuan itu? Tidak. Ia menerima. Ia ridho. Penerimaan itu memungkinkannya tumbuh menjadi hamba Allah yang tangguh.
Dalam satu kelompok, mari kita berhitung satu sampai lima dan bila tiba pada orang keenam, mulai dari satu lagi. Kemudian, kumpullah bersama pemilik angka yang sama. Sekarang, dengan siapa kita berkumpul? Tak satu pun menduga, karena kita tidak bisa memilih ingin bertemu dan sekelompok dengan siapa. Tantangannya? Kita mesti siap bertemu dan bersinergi dengan siapa pun di dunia ini. Deal?
Dari sejumlah pasangan suami istri, siapa yang dengan gamblang bisa menceritakan mengapa dan bagaimana mereka bertemu? Apakah pertemuan itu semata-mata rekayasa salah seorang atau keduanya? Benarkah pertemuan mereka hanya kebetulan sejarah? Kita pasti sepakat, itu bukan kebetulan tapi bagian dari takdir.
Sunatullahnya, pertemuan selalu berpasangan dengan perpisahan. Itu pasti. Perpisahan seseorang dengan keluarga, pasangan, dan kolega kerja mestinya dipandang sebagai bagian yang tak terpisahkan dari kebahagiaan pertemuan. Meskipun tetap menjadi misteri, mari akhiri setiap pertemuan dengan manis. Rayakan perpisahan sewajar menerima pertemuan, seperti yang pernah diucapkan Ustadz Arifin Ilham,"...kematian janganlah ditakuti, karena mati adalah "liqoouhu" jalan satu satunya untuk berjumpa dengan Allah yang sangat kita cinta dan rindu ketika beribadah dan taat kepada-Nya."
Lalu, apa makna pertemuan dalam hatimu? Ketika sebentar lagi ada pilihan-pilihan yang mau tidak mau mengemuka. Bisa jadi dia adalah bulan madu kedua atau perpisahan yang pilu. Tetapi, apa pun itu, kehadiran tetaplah dia yang mengerti, betapa sehasta perjalanan tidak mengubah apa pun dalam hati. Kita masih saja gagap menggenapi mimpi yang sengaja terkonstruksi dari hati yang terbelah: menjelang halaman akhir episode ini.
Pertemuan dan Perpisahan Suci