Lihat ke Halaman Asli

Akbar Fahrizal

Mahasiswa Politeknik Keuangan Negara STAN

Penghapusan Tarif Khusus UMKM, Perlukah?

Diperbarui: 10 Mei 2023   19:57

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Birokrasi. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/GARRY LOTULUNG

Pandemi COVID-19 merupakan sebuah fenomena yang dampaknya dapat dirasakan di berbagai aspek kehidupan masyarakat. Di Indonesia sendiri, banyak tenaga kerja yang kehilangan mata pencahariannya dikarenakan pemecatan besar-besaran yang dilakukan perusahaan untuk menanggulangi pandemi agar perusahaan tetap dapat bertahan.

Ketika dilihat secara pesimistik, hal ini tentu merupakan suatu bencana yang menjadikan banyak masyarakat yang tidak dapat menghidupi keluarganya. Namun, ketika kita melihat hal tersebut secara optimistik maka akan timbul harapan akan kesempatan untuk memperbaiki keadaan. Harapan tersebut hadir dengan bentuk bisnis Usaha Mikro Kecil dan Menengah (UMKM). Banyak dari pekerja yang mengalami PHK dan pemberhentian beralih profesi menjadi pengusaha UMKM.

UMKM sendiri merupakan salah satu jenis usaha yang dilakukan masyarakat dengan didasari oleh kriteria keuntungan penjualannya. Kriteria tersebut diatur lebih lanjut dalam UU No. 20 Tahun 2008 tentang UMKM, ada yang masuk dalam kriteria mikro, kecil, dan menengah. Kriteria ini menunjukan bahwa dalam masyarakat itu sendiri terdapat lapisan-lapisan penghasilan yang pada dasarnya menjadi acuan bagi pembuat kebijakan dalam merancang kebijakan agar sesuai dengan yang dibutuhkan masyarakat.

Kebijakan tersebut harus dirancang dengan baik, secara khusus oleh Direktorat Jenderal Pajak (DJP) karena potensi UMKM itu sendiri sangatlah besar. Berdasarkan data MSME Empowerment Report, terdapat 65,4 juta UMKM di Indonesia pada tahun 2022. UMKM ini sendiri menyerap banyak sekali tenaga kerja di mana ada 114,7 juta orang yang dipekerjakan dalam lingkup UMKM ini. Dari segi Pendapatan Domestik Bruto (PDB), UMKM menyumbang sebesar 60% dari total PDB. Hal ini tentu menjadi perhatian khusus oleh DJP dalam menggali potensi industri yang sedang berkembang ini.

Salah satu kebijakan yang dicetuskan adalah pemajakan Pajak Penghasilan (PPh) Final yang dicantumkan dalam Peraturan Pemerintah Nomor 46 Tahun 2013 tentang Pajak Penghasilan atas Penghasilan dari Usaha yang Diterima atau Diperoleh Wajib Pajak yang Memiliki Peredaran Bruto Tertentu sebagaimana telah diubah terakhir dengan Peraturan Pemerintah Nomor 55 Tahun 2022 tentang Penyesuaian Pengaturan di Bidang Pajak Penghasilan. Kebijakan ini menjadi sarana bagi para UMKM untuk dapat melaksanakan kewajiban perpajakannya.

Penerapan peraturan tersebut memberikan fasilitas berupa pemajakan bersifat final dengan tarif awal sebesar 1% hingga terakhir diubah menjadi 0,5%. Tarif ini digunakan sebagai dorongan bagi UMKM untuk dapat berpartisipasi dalam meningkatkan penerimaan perpajakan di Indonesia. Perhitungan yang sederhana dan mudah menjadikan penerapan tarif ini populer dan masif digunakan oleh UMKM di Indonesia. Kesederhanaan itu sendiri dapat disebut sebagai sebuah insentif berupa fasilitas yang diarahkan untuk para UMKM di Indonesia dalam melaksanakan kewajiban perpajakannya.

PP No. 55 Tahun 2022 juga mengatur bentuk insentif lain yang dapat dimanfaatkan oleh para UMKM yaitu insentif batas omzet sejumlah Rp 500 juta. UMKM dengan penghasilan bruto atau omzet yang belum mencapai angka Rp 500 juta dalam kurun waktu setahun, tidak dikenakan PPh Final UMKM. Ketika pengusaha telah melebihi batasan tersebut, maka akan ada kewajiban yang muncul untuk menyetorkan pajak. Batasan ini muncul karena pandemi COVID-19 yang menghantam pasar UMKM sejak awal tahun 2020 menyebabkan lesunya pasar yang telah terbangun sebelumnya. 

Berdasarkan data Kementerian Komunikasi dan Informatika Republik Indonesia, ditemukan sebesar 53,76% UMKM di Indonesia mengalami penurunan pendapatan yang cukup signifikan. Namun, di balik angka penurunan tersebut, terdapat 17,74% UMKM yang mengalami peningkatan pendapatan. Insentif omzet ini ditujukan untuk menjalankan fungsi membantu UMKM di mana pada UMKM yang mengalami penurunan, ini merupakan tax relief yang membuat UMKM dapat bernafas dan fokus meningkatkan pendapatannya. Selain itu, UMKM yang mengalami kenaikan pendapatan dapat memanfaatkan insentif ini untuk mendorong perkembangan usahanya.

Setiap angin segar selalu berlalu, PP No. 55 Tahun 2022 menyebutkan bahwa UMKM Orang Pribadi dapat memanfaatkan fasilitas di atas maksimal 7 tahun sejak tahun pajak 2018 saat munculnya PP No. 23 Tahun 2018 untuk Wajib Pajak yang terdaftar sebelum tahun 2018. UMKM dengan kriterian tersebut dapat menggunakan fasilitas tersebut hingga tahun pajak 2024. Tidak hanya UMKM tidak dapat menggunakan tarif 0,5% dari omzet, fasilitas insentif omzet Rp 500 juta juga tidak dapat digunakan. Alasan untuk pemberian jangka waktu dan pada akhirnya penghapusan fasilitas ini adalah bahwa UMKM yang diberi waktu selama jangka waktu tersebut diharapkan dapat berkembang, mandiri, dan dapat meningkatkan kualitas pengelolaan administrasi perpajakannya.

Selama ini, pengenaan tarif final 0,5% ini sangat membantu UMKM karena kesederhanaannya. Ketika fasilitas tarif ini dihapuskan, tentunya administrasi perpajakan bagi UMKM akan kembali sesuai dengan ketentuan UU mengenai Pajak Penghasilan yaitu menggunakan penghitungan dengan Norma Penghitungan Penghasilan Netto (NPPN). Pengenaannya tentu sangat berbeda dengan pengenaan tarif final di mana UMKM dengan penghasilan dari Usaha hanya perlu mengalikan tarif dengan peredaran bruto/omzet untuk tarif final. Sementara itu, penggunaan NPPN akan menghasilkan prosedur penghitungan pajak yang lebih panjang dengan penghitungan penghasilan netto untuk kemudian dikalikan tarif PPh Pasal 17 dan berujung pada penghitungan Kurang/Lebih Bayar dan setoran angsuran PPh Pasal 25. Bagi orang yang sudah biasa mengerjakannya seperti konsultan pajak tentu itu tidak menjadi masalah yang berarti namun beda kaitannya dengan UMKM yang kebanyakan tidak memakai jasa konsultan menghitung penghasilan dan pajaknya sendiri, tentu ini akan menjadi kendala.

DJP harus dapat mempertimbangkan hal tersebut karena ketika administrasi pajak dirasa sulit dan tidak praktis maka Wajib Pajak akan menunjukan resistensi dan kepatuhan pajak akan semakin menurun. Kesulitan perpajakan yang dimaksud yaitu termasuk banyaknya kesalahan prosedur pelaporan yang dilakukan oleh Wajib Pajak dalam SPT yang disampaikan. Semakin banyak munculnya kesalahan tersebut maka semakin rumit sebuah prosedur administrasi pajak. Selain dari segi administrasi perpajakan, penghapusan fasilitas di atas akan menyebabkan beban perpajakan bagi Wajib Pajak akan semakin berat dalam hal pengenaan pajak pada penghasilan yang diperoleh UMKM. Pertimbangan ini menjadi penting demi memaksimalkan penerimaan pajak kepada negara dan pertumbuhan industri UMKM di Indonesia.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline