Lihat ke Halaman Asli

Fahrizal Rahman

Mahasiswa Pendidikan Bahasa Dan Sastra Indonesia Universitas Trunojoyo Madura

Menjaga Eksistensi ISHARI di Era Seni Modernisasi

Diperbarui: 15 Desember 2024   06:41

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Sumber: Dokumentasi Pribadi ISHARI NU Banyualet

     

     Seni hadrah adalah warisan budaya yang tak hanya menunjukkan kecintaan umat kepada Nabi Muhammad SAW, tetapi juga menggambarkan kekayaan tradisi Islam Nusantara yang telah ada jauh sebelum kemerdekaan Indonesia. Dimulai pada 1830 dengan pengajaran shalawat Ishari oleh Habib Syech Botoputih di Surabaya, seni hadrah atau "hadrahan" ini berkembang menjadi tradisi penting dalam masyarakat Nahdiyin. Melalui lantunan shalawat yang diiringi irama rebana, seni ini tak hanya berfungsi sebagai ibadah, tetapi juga sebagai sarana untuk mempererat persaudaraan dan menyebarkan ajaran agama.

     Selama masa penjajahan, seni hadrah berperan sebagai medium pertemuan rahasia ulama yang membahas masalah keummatan. Di tengah pembatasan ketat oleh pemerintah kolonial, kegiatan ini menjadi jalan bagi ulama untuk berkumpul dan berdiskusi tentang isu-isu sosial dan agama tanpa menarik perhatian penjajah. Seni hadrah ini juga menjadi sarana penguatan konsolidasi umat Islam dalam menghadapi penjajahan, menjadikannya bukan hanya sebagai ekspresi budaya, tetapi juga sebagai alat untuk bertahan dan melawan ketidakadilan.

     Setelah Indonesia merdeka, seni hadrah kembali  bertransformasi menjadi alat perjuangan dalam menghadapi tantangan ideologi. Pada 1959, ketika komunisme mulai berkembang pesat di Indonesia, para ulama NU, di bawah inisiatif KH Abdul Wahab Hasbullah, menggunakan seni hadrah untuk menanggapi ancaman ideologi tersebut. Melalui pembentukan organisasi ISHARI (Ikatan Seni Hadrah Republik Indonesia), seni hadrah menjadi senjata budaya untuk melawan pengaruh komunisme yang berusaha merasuki masyarakat, terutama melalui seni dan budaya. Seni hadrah, dengan lantunan shalawat yang penuh makna spiritual, menjadi kontra narasi terhadap seni yang dipakai oleh Partai Komunis Indonesia (PKI), yang juga memanfaatkan seni sebagai media penyebaran paham mereka.  

     Sebagai bagian dari tsaqofah (budaya) yang mendalam, seni hadrah ISHARI NU mengedepankan nilai-nilai spiritual yang kuat, menjadikannya lebih dari sekadar hiburan atau kompetisi seni. Lantunan shalawat, yang selalu diiringi rebana, bukan hanya sarana untuk mengekspresikan kecintaan umat kepada Nabi Muhammad SAW, tetapi juga sebagai bentuk ibadah yang menyampaikan pesan-pesan moral dan spiritual. Berbeda dengan seni sholawat lainnya yang lebih bersifat kompetitif, seni hadrah ISHARI NU menekankan pada ketulusan, keikhlasan, dan pengabdian kepada agama, menjadikannya sebagai sarana dakwah yang sangat efektif dalam membentuk karakter masyarakat.

     Seiring berjalannya waktu, generasi muda memainkan peran penting dalam menjaga eksistensi seni hadrah di tengah arus modernisasi yang semakin deras. Di desa Banyualet, Tanah Merah Laok, Bangkalan, para pemuda secara aktif berpartisipasi dalam latihan rutin setiap minggu, dengan penuh semangat dan keikhlasan.Beliau Ustad Mahdhori, Pimpinan ISHARI NU di desa Banyualet, menegaskan bahwa seni hadrah ISHARI NU harus terus dilestarikan, dan regenerasi pemuda dalam seni ini sangat diperlukan. "Kalau diperhatikan, memang kaum muda lebih banyak memilih grup sholawat yang lebih modern. Namun sebagai kaum muda Nahdliyin, kesenian hadrah ini juga sangat patut untuk dilestarikan, khususnya di Desa Banyualet ini," ujarnya,Mereka menyadari bahwa seni hadrah ISHARI NU bukan hanya sekadar tradisi, melainkan bagian integral dari identitas Nahdliyin yang harus dijaga dan dilestarikan. Dalam dunia yang semakin dipengaruhi oleh budaya global dan teknologi, mempertahankan seni hadrah menjadi tantangan tersendiri. Namun, semangat generasi muda ini membuktikan bahwa seni hadrah ISHARI NU dapat terus berkembang tanpa kehilangan esensinya, 

     Melestarikan seni hadrah ISHARI NU berarti juga menjaga nilai-nilai luhur yang terkandung dalam tradisi tersebut. Generasi muda yang terlibat aktif dalam pelatihan ini tidak hanya melestarikan seni, tetapi juga menjaga semangat spiritual yang ada di dalamnya. Keterlibatan mereka menjadi kunci untuk memastikan bahwa seni hadrah tetap relevan dan terus berkembang di tengah dunia yang semakin modern. Para pengurus dan sesepuh ISHARI NU memberikan bimbingan dan arahan kepada para pemuda agar mereka tetap istiqomah dalam menjaga tradisi ini, dengan harapan bahwa seni hadrah tidak hanya bertahan, tetapi juga mampu menginspirasi generasi berikutnya.

     Perjalanan seni hadrah ISHARI NU menunjukkan bahwa regenerasi adalah kunci kelangsungan tradisi ini. Tanpa adanya regenerasi, seni hadrah dapat terancam punah, namun dengan semangat dan kerja keras generasi muda, seni ini akan terus berkembang, tidak hanya sebagai warisan masa lalu, tetapi juga sebagai sarana dakwah dan budaya yang tetap relevan di masa depan. Semoga dengan keberlanjutan regenerasi ini, ISHARI NU terus menjadi benteng budaya, menginspirasi masyarakat, dan menjaga nilai-nilai spiritual di tengah arus modernisasi yang terus mengalir.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline