Lihat ke Halaman Asli

PKS, Dulu dan Kini

Diperbarui: 15 Juli 2016   08:57

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Ketika pertamakali menginjak bangku kuliah, saya diajak oleh salah seorang kawan untuk bergabung di salah satu organisasi mahasiswa yang – tanpa perlu saya sebut nama organisasinya – merupakan underbow dari Partai Keadilan Sejahtera (PKS). Ketika itu, tepatnya tahun 2007, untuk pertama kalinya saya berkenalan dengan kakak-kakak angkatan yang merupakan kader PKS di kampus. Saya aktif mengikuti berbagai kegiatan yang diadakan partai, mulai dari halaqah mingguan, mabit, turun di jalan untuk aksi demonstrasi peduli Palestina, sampai dengan direct selling atau mempromosikan partai kepada konstituen dari rumah ke rumah menjelang pemilu 2009.

Kesan saya pada waktu itu, saya begitu bangga menjadi bagian dari PKS. Bahkan, saya dan teman-teman sampai rela merogoh kocek untuk membeli atribut-atribut partai mulai dari kaos sampai pulpen yang terdapat simbol partai. Intinya, mengenakan simbol PKS terasa sebagai sebuah prestise tersendiri. Bagi saya, PKS adalah partai yang sebagian besar kadernya muda dan terdidik. Apalagi, sistem pembinaan di dalam halaqah sangat sistematis, sampai-sampai Murabbi yang bertanggungjawab pada setiap halaqah sangat ketat dalam mengontrol pelaksanaan ibadah harian para kader binaannya. Masing-masing kader diwajibkan menyetor lembar mutaba`ah (evaluasi) ibadah harian seminggu sekali.

Namun, seiring berjalannya waktu, kesan saya kepada PKS berubah. Apalagi setelah kasus yang menimpa LHI, banyak kader PKS di akar rumput yang kecewa bahkan sakit hati. Ironisnya, setelah peristiwa itu, Presiden PKS yang menggantikannya bukan malah langsung mengakui kesalahan dan meminta maaf kepada masyarakat, namun justru menyerang KPK dengan mempopulerkan satu istilah yang seolah dijadikan mantra ajaib: KONSPIRASI. Saya merasa, kader-kader PKS di akar rumput seperti “dibodohi” oleh para pimpinan dengan kata “konspirasi” tersebut; seolah-olah ada sebuah operasi terselubung untuk menghancurkan partai. Padahal, entah sebenarnya ada atau tidak konspirasi tersebut, belakangan terbukti juga bahwa kasus yang menjerat LHI adalah fakta.

Menjelang Pilpres 2014, situasinya lebih kacau lagi. Entah bagaimana ceritanya, kader-kader PKS seolah-olah melampiaskan depresinya dengan menyerang lawan politik secara membabi buta. Berbagai link dan berita hoax yang berisi fitnah dan kebencian kepada rival politiknya saat itu disebarkan melalui media sosial. Di sini, saya benar-benar merasa gagal paham, gimana ceritanya kader-kader PKS yang konon katanya berasal dari kalangan terdidik namun tidak bisa mencerna dengan jernih mana informasi yang valid dan yang tidak. Bahkan, sampai detik ini pun (2016) sisa-sisa “sakit hati” itu masih terasa. Saya masih sering melihat akun milik kader atau simpatisan PKS yang  rajin meng-sharelink berita yang berisi kebencian kepada Pemerintah yang berkuasa saat ini. 

Saya berpikir, sudah sedemikian dalam kah depresi yang dialami para kader PKS sampai tidak bisa lagi membedakan hitam dan putih? Saya bukannya mendukung pemerintah. Saya hanya menyesalkan ketika ada berita negatif yang jelas-jelas tidak bisa dikonfirmasi kebenarannya tentang pemerintah, dengan mudahnya di-share begitu saja di media sosial. Padahal, jika ada berita negatif tentang petinggi partai, biasanya para kader selalu berdalih untuk mendahulukan sikap husnudzan, tabayun, tsiqoh, dan lain-lain.

Saya melihat tidak ada masalah pada kader-kader PKS di akar rumput. Dari beberapa kasus yang menimpa PKS belakangan ini, termasuk kasus suap Gubernur Sumatera Utara, saya menyimpulkan bahwa yang justru yang bermasalah adalah kalangan elitenya. Jika dulu, tahun 2004, Hidayat Nurwahid yang menjabat ketua MPR RI mengembalikan mobil VOLVO kepada Negara  sebagai simbol kesederhanaan pejabat, saat ini keteladanan yang seperti itu sudah nyaris tidak ditemukan dari para petinggi PKS. Saya hanya berharap, jangan sampai kepercayaan para “penitip suara” dikhianati oleh para pemimpinnya. Semoga, di bawah kepemimpian baru yang diketuai M. Sohibul Iman, kondisi moral itu bisa diperbaiki kembali.  ***

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline