Lihat ke Halaman Asli

Mencermati Kekerasan Atas Nama Agama

Diperbarui: 25 Juni 2015   21:02

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

132627647427274328

Bangkitnya gerakan radikalisme agama dewasa ini, secara historis sulit dilepaskan dari reaksi negative atas gelombang modernitas yang membanjiri negara-negara muslim pada awal abad ke-20. Pengaruh modernitas ini bukan hanya pada dimensi kultural, tetapi juga dimensi struktural-institusional, seperti sains dan teknologi serta instrument modern lainnya, khususnya pandangan mengenai kesadaran kebangsaan yang melahirkan konstruksi Negara-bangsa modern. Reaksi tersebut muncul akibat ketidak mampuan kultur masyarakat merespon nilai-nilai dan norma-norma baru yang diusung gelombang modernitas ini. Disamping realitas masyarakat yang sangat plural, dipertantangkannya konsepsi negara-bangsa sekuler moderndengan universalisme tatanan berdasarkan agama, telah mempertajam ketegangan dan benturan politik-idiologis yang menghambat perkembangan kesadaran kebangsaan. Akibatnya, konstruk negara-bangsa modern dinegara-negara muslim umumnya mengalami delegitimasi dan ancaman terus-menerus.

Tak mudah membayangkan Islam yang berperan aktif dalam proses bina-damai atau peace building. Perang internasional dan perang saudara yang melibatkan negeri-negeri muslim, aksi-aksi teror yang mengatasnamakan Islam, dan doktrin-doktrin tertentu dalam ajaran Islam seperti ajaran yang dibawa Muhammad bin Abdl Wahab, cenderung menampilkan citra islam yang kasar , ganas dan tak dapat hidup berdampingan. Dari tahun ketahun, negeri ini terus menerus dikoyak oleh para gerombolan teroris dengan mengatasnamakan agama. Setiap saat, setiap waktu, kapan saja dan di mana saja, ulah para pembajak agama ini selalu mengancam keselamatan dan mengoyak ketentraman kita dalam menjalankan tugas berbangsa dan bernegara. Kasus-kasus seperti yang terjadi di Pandeglang, Bangil, Pasuruan dan terakhir di Sampang Madura telah mengoyak rasa kemanusiaan kita. Dalam situasi seperti ini sulit rasanya bagi kita untuk bicara Islam sebagai "Rahmatan lil" Alamin" ketika pada faktanya para pembajak agama masih memiliki kesempatan untuk terus-menerus berkeliaran di bumi pertiwi ini.

Penerapan ajaran agama yang mengabaikan aspek sosio-kultural masyarakat setempat, Penolakan total terhadap tradisi lokal, sekaligus pada perkembangan modernitas dengan tanpa mengadaptasikan ajaran agama dengan kebutuhan sejarah dan konteks sosial, pada akhirnya melahirkan sikap eksklusif dan pandangan ekstrem dalam beragama. Radikalisasi agama kian menguat, terutama terlihat dari merosotnya toleransi terhadap kelompok atau agama lain. Situasi ini cukup berbahaya sebab bisa mengikis kesadaran kebangsaan di Indonesia sehingga mengganggu sistem ketahanan dan kenyamanan kondisi di bangsa Indonesia yang di bangun berdasarkan pancasila dan UUD 1945 ini. Radikalisasi tumbuh di tengah keterbukaan politik. Saat bersamaan, pemerintah lemah dan tak punya wibawa. Sementara lembaga keagamaan seperti Majelis Ulama Indonesia (MUI) justru memberikan angin segar dan besar bagi sikap radikal dengan mengeluarkan fatwa-fatwa yang justru bertentangan dengan naluri keagamaan itu sendiri. Semua ini bisa mengikis kesadaran Agama yang didasarkan cinta serta Keindonesiaan berdasarkan Pancasila dan UUD 1945 yang plural dan menghargai perbedaan.

Peran setiap warga masyarakat sangat penting dalam meminimalisasikan dan menormalkan kondisi dari riak-riak kekerasan yang mengatasnamakan agama dan kepentingan kelompok agama, politik bahkan negara. Karena dengan semangat kebinekaan dan Pancasila serta didampingi dengan amanat UUD 1945, integritas yang bisa menciptakan keamanan dan pertahanan negara bisa menguat.

Beberapa ayat al-Qur’an – seperti surah ke-5 dan ke-49 secara kuat melarang Muslim membenci, melecehkan dan mencap orang lain ataupun melakukan kekerasan. Tindakan kekerasan di Indonesia baru-baru ini bertentangan dengan ayat-ayat ini, dan dilakukan oleh orang-orang yang salah kaprah dalam memahami agama. Al-Qur’an tidak mendorong kekerasan, dan justru mendorong orang untuk membangun masyarakat yang damai dan saling menghargai.

Akhirnya, mari kita kembali kepada ajaran agama sebagai Rahmat semesta alam. Dalam ajaran agama apapun, tidak dibenarkan melakukan tindak kekerasan untuk alasan apapun. Laa iqraaha fiddiin, tidak boleh ada kekerasan dalam beragama. Karena agama adalah pembawa kedamaian bukan pembawa kebencian, juga karena kita adalah warga bangsa Indonesia dengan landasan Bhineka Tunggal Ika, Pancasila dan UUD 1945, sudah seharusnya segala bentuk kekerasan atas nama agama seperti yang terjadi di Sampang baru-baru ini tidak terulang.




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline