Lihat ke Halaman Asli

Arus Deras Pemberantasan Korupsi

Diperbarui: 9 April 2018   10:12

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

source : 2015 merdeka.com

Francis Fukuyama melalui buah pikirannya pernah mengemukakan bahwa ketika abad ke-20 arus wacana ditandai dengan perjuangan ideologis besar antara demokrasi, fasisme dan komunisme, maka di abad ke-21, korupsi menjadi sebuah isu dominan dan sangat menentukan di berbagai aspek kehidupan bernegara.

Dalam beberapa tahun terakhir, isu korupsi atau secara umum didefinisikan sebagai penyalahgunaan jabatan publik untuk keuntungan pribadi telah menarik perhatian sejumlah akademisi dan praktisi kebijakan. Bukan tanpa alasan, skandal korupsi telah banyak menjerat tak sedikit aktor pejabat publik baik di pelbagai negara industri besar atau negara berkembang dan bahkan berujung pada penggulingan rezim pemerintah berkuasa.

Pada dasarnya ihwal korupsi yang menggejala belakangan ini adalah fenomena modern. Muncul secara bertahap pada abad ke 16 dan 17 tatkala istilah semacam kontrak sosial telah dipergunakan untuk melindungi kepemilikan publik. Gagasan teoritis dari Hugo Grotius, Jean Bodin, Thomas Hobbes dan Samuel von Pufendorf ikut mengemuka dan secara mendasar menjelaskan bahwa seorang penguasa dapat secara sah berdaulat namun bukan dengan hak kepemilikan.

Hal ini tentu berbeda dengan situasi di abad pertengahan Eropa, dimana konsep publik dan pribadi belum dikenal luas. Oleh Max Weber diistilahkan sebagai 'patrimonial' yaitu ketika otoritas politik dianggap sebagai hak milik pribadi yang dapat diturunkan kepada keturunan sebagai bagian dari warisan mereka. Begitu pula dengan sistem pada zaman dinasti, seorang raja dapat dengan mudah memberikan seluruh wilayah kekuasaanya beserta isinya kepada putra atau putrinya sebagai hadiah, karena ia menganggap wilayahnya sebagai milik pribadi.

Akan tetapi, memasuki era modern dewasa ini, ketika negara-negara terfragmentasi ke dalam bentuk multisistem, baik berupa perwujudan demokrasi maupun otoriter dan juga pergerakan sistem pasar yang mengalami transisi menuju sistem pasar bebas, tampaknya telah memunculkan corak baru perilaku korupsi dipelbagai negara, termasuk di Indonesia.

Dalam aspek politik, pejabat publik mencoba melegitimasi demokrasi dan setidaknya berpura-pura mengadakan pemilihan yang kompetitif. Namun kenyataannya, mereka bersembunyi dibalik nilai fantastis biaya politik untuk kontestasi pilkada maupun janji-janji anti korupsi yang kerapkali dijadikan jargon kampanye menjelang pemilihan.

Berdasarkan temuan Indonesia Corruption Watch (ICW) dalam kurun 2010 sampai 2015 saja sebanyak 183 Kepala Daerah telah ditetapkan menjadi tersangka kasus korupsi. Perkara ini semakin menegaskan bahwa penggunaan jabatan politik memerlukan pengawasan ekstra guna memutus rantai korupsi yang semakin hari makin mengakar.

Korupsi seolah menjadi siklus panjang yang sulit diputus. Kesenjangan antara political will, penegakan hukum, dan reformasi politik merupakan determinasi utama sulitnya pemberantasan korupsi dilakukan secara menyeluruh. Sejumlah argumentasi perubahan masih terbatas pada indikator-indikator yang bersifat kontekstual namun terhambat pada tataran implementasi.

Para pemimpin politik kerapkali hanya berpura-pura menjadi pelayan masyarakat dengan ornamen modern seperti parlemen, menteri dan birokrasi. Tapi kenyataannya, para elit justru memasuki politik guna mendapatkan biaya ganti rugi atau sumber daya yang berakhir pada upaya memperkaya diri, keluarga dan kelompok.

Pertanyaannya kemudian, mengapa korupsi begitu sulit untuk diberantas ? Jawabannya tentu sangatlah beragam. Pertama, dalam banyak kasus di Indonesia, semangat anti korupsi masih terbatas pada upaya menemukan pelaku tindak korupsi tetapi bukan pada reformasi sistem guna membatasi ruang para pejabat publik melakukan tindak korupsi. Apalagi beberapa tahun terakhir, pelemahan sistem seringkali terjadi. Mulai dari revisi UU KPK, revisi UU Aparatur sipil negara dan berlanjut pada hak angket DPR yang muaranya bertentangan dengan integritas pemberantasan korupsi.

Masalah demikian terjadi karena fakta bahwa reformasi sistem bersumber dari strategi politik. Dilakukan secara politis dan menguntungkan sebagian kelompok dengan kepentingan tertentu. Itulah sebabnya, inisiatif transparansi maupun penganggaran partisipatif yang seringkali dicanangkan tidak berjalan sesuai harapan karena pelemahan sistem sangat dominan terjadi di tataran elit politik. Untuk itu, agar upaya preventif tindak korupsi dapat berjalan maksimal, maka lebih dahulu harus didasari oleh perubahan komitmen politik terhadap sistem atau regulasi.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline