Lihat ke Halaman Asli

Rezim Perijinan Menghambat Produksi Migas

Diperbarui: 17 Juni 2015   16:50

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

1416928086381009253

Kebijakan subsidi BBM merupakan permasalahan dilematis, yang selalu dihadapi hampir semua kepala negara di Indonesia, termasuk Presiden Jokowi. Setiap kali Presiden akan memutuskan kebijakan penaikan harga BBM selalu saja menuai kecaman, kritikan dan hujatan sebagai bentuk resistensi dari berbagai kalangan terhadap kebijakan pengurangan subsidi melalui penaikan harga BBM.

Di tengah menurunnya harga minyak dunia hingga mencapai US$ 76 per barrel, keputusan Jokowi menaikkan harga BBM juga mendapat penentangan keras dari berbagai komponen masyarakat. Tidak hanya demo mahasiswa di sejumlah Perguruan Tinggi, tetapi juga beberapa kader PDIP, partai pengusung Jokowi dalam pemilihan presiden, juga ikut menolak rencana Jokowi untuk menaikan harga BBM bersubsidi.

Selain sempitnya ruang fiskal RAPBN 2015, jebolnya kuota BBM yang dipatok Undang-undang (UU) sebesar 46 juta kilo liter menjadi petimbangan bagi Pemerintahan Jokowi untuk menaikan harga BBM. Hingga akhir Oktober 2014, penyaluran BBM bersubsidi sudah mencapai 39,07 kilo liter, sehingga tersisa 6,93 juta kilo liter. Jika Jokowi tidak memutuskan penaikan harga BBM, jebolnya kuota BBM tidak bisa dihindari. Selain dinilai melanggar UU, jebolnya kuota juga akan semakin meningkatkan impor BBM yang diperkirakan mencapai 1,62 juta barrel per hari.

Peningkatan impor untuk kebutuhan konsumsi BBM dalam negeri akan semakin memperbesar defisit neraca pedagangan. Dampaknya, kurs rupiah semakin tergerus yang ujung-ujungnya juga meningkatkan inflasi. Tanpa penaikan BBM sekali pun, inflasi akibat meningkatnya impor BBM juga akan mengancam negeri ini.

Selain peningkatan konsumsi BBM dalam negeri, peningkatan impor BBM juga disebakan oleh penuruan produksi minyak di Indonesia. Kencendrungan penurunan produksi Migas sesungguhnya sudah terjadi sejak beberapa tahun lalu. Data SKK Migas menunjukkan pada tahun 2003 produksi minyak indonesia masih bisa mencapai 1.012.900  barel per hari, mengalami penuruan menjadi 762.820 barel per hari pada tahun 2013.

Penurunan produksi minyak Indonesia disebabkan minimnya kegiatan eksplorasi Migas, padahal potensi cadangan migas yang terkadung di bumi Indonesia diperkirakan masih cukup besar. Minimnya kegiatan eksplorasi salah satunya disebabkan oleh alotnya perijinan di sektor eksplorasi Migas.

Selama ini, rezim perijinan sektor Migas sangat rumit dan membutuhkan waktu yang lama, serta melibatkan banyak instansi. Pengurusan ijin prinsip pengeboran migas harus dilakukan secara berjenjang, mulai dari ijin Bupati/Walikota, Gubernur hingga Menteri, yang membutuhkan waktu sekitar 3 bulan. Sedangkan pengurusan ijin penggunaan bahan peledak dari Kepolisian, membutuhkan waktu sekitar 1 bulan.

Untuk peralatan pengeboran yang masih diimpor harus menjalani pemeriksaan dalam bentuk master list, yang membutuhkan waktu sekitar 3 bulan. Jika lokasi pengeboran di area kehutanan diperlukan ijin dari Menteri Kehutanan, yang membutuhkan waktu 2 bulan. Persetujuan eksplorasi  dari Kementerian ESDM paling cepat selama 4 bulan. Total jumlah perijinan sejak akan mulai eksplorasi hingga produksi migas tak kurang dari 30 jenis perijinan yang harus dilalui, dengan jangka waktu lebih dari satu tahun.

Berbelit-dan-panjangnya proses perijinan di sektor Migas tidak hanya merugikan kontraktor saja, tetapi juga merugikan negara akibat adanya pembengkakan cost of recovery yang dibebankan pada APBN. Potensi kerugian negara akibat membengkaknya cost of recoverytersebut  diperkirakan bisa mencapai sekitar US$ 315 juta per tahun. Jika terdapat 10 Kontrak Kerja Sama (KKS) yang mengalami keterlambatan produksi selama satu tahun, dengan kemampuan produksi setiap KKS sekitar 10.000 barel per hari, maka potensi kerugian negara bisa mencapai US$ 3,15 miliar atau lebih Rp.30 triliun per tahun.

Untuk mempercepat setiap kegiatan eksplorasi dan menekan potensi kerugian negara akibat hambatan perijinan di sektor Migas, pemerintah harus melakukan reformasi perijinan eksplorasi. Reformasi tersebut meliputi perampingan instansi yang berwenang memberikan ijin, penyederhanaan dan percepatan proses perijinan yang dilakukan dalam dalam satu atap. Dengan adanya perijinan satu atap,  perijinan tidak berbelit lagi sehingga prosesnya tidak lebih dari 3 bulan. Selain itu, seluruh proses perijinan  sebaiknya diurus dan diselesaikan oleh SKK Migas sebagai perwakilkan pemerintah, sehingga kontraktor bisa fokus pada upaya eksplorasi dan produksi Migas.

Sejak dilantik sebagai Presiden RI, Jokowi sudah beberapa kali melontarkan idenya untuk melakukan reformasi perijinan di segala sektor, termasuk  perijinan sektor hulu Migas. Reformasi perijinan akan dilakukan dalam satu atap secara online. Namun, sayangnya hingga kini menteri terkait belum juga menindaklanjuti ide Jokowi tersebut.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline