Jember - Hak dipilih maupun memilih merupakan Hak Konstitusionalitas warga negara yang dijamin oleh UUD NRI 1945. Lantas apakah melarang seseorang bahkan mantan Narapidana kasus korupsi ikut dalam kontestasi pemilu adalah suatu hal yang dibenarkan?
Beberapa waktu lalu KPU mengatur pelarangan tersebut dalam peraturan KPU atau aturan internal Partai Politik soal rekrutmen caleg. KPU mengusulkan larangan ini masuk dalam Peraturan KPU Pasal 8 tentang pencalonan anggota DPRD provinsi dan kabupaten/kota. Namun usulan ini tak disetujui Komisi II DPR, yang tetap ingin eks napi kasus korupsi tak dilarang mencalonkan diri sebagai anggota legislatif.
Langkah KPU tersebut ditolak oleh Komisi II DPR, Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) dan Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) yang melarang eks Napi kasus korupsi menjadi calon legislatif.
Dalam suatu kesempatan Presiden Jokowi mengatakan bahwa tak seharusnya KPU melarang mantan Napi Korupsi maju dalam pemilu, presiden meminta KPU kembali menelaah aturan tersebut.
Dapat kita pahami langkah preventif KPU tersebut untuk mewujudkan parlemen yang bersih, dan agar rakyat tidak memilih legislator berlatarbelakang koruptor. Namun justru PKPU ini tidak memiliki dasar hukum yang jelas dan bertentangan dengan Undang-Undang Pemilu sehingga rentan digugat.
Kewenangan Yudikatif.
Seseorang dapat dikatakan tidak boleh mengikuti kontestasi politik apabila pengadilan menjatuhkan pidana tambahan kepadanya berupa pencabutan hak politik ( dipilih dan memilih ), kewenangan mencabut hak politik merupakan kewenangan yang hanya dimiliki oleh cabang kekuasaan yudikatif.
Hak politik termasuk dalam hak asasi manusia sebagaimana diatur Pasal 25 Kovenan Internasional tentang Hak-hak Sipil dan Politik ( ICCPR ).
Pencabutan hak politik, utamanya hak untuk dipilih sebagai pejabat publik, adalah realisasi dari hukuman karena yang bersangkutan tidak amanah atau telah berkhianat dalam memegang jabatan publik dan agar yang bersangkutan tidak bisa lagi menyalahgunakan wewenangnya.
Dalam Pasal 73 Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia disebutkan, pembatasan atau pencabutan hak asasi manusia hanya diperkenankan berdasarkan undang-undang. Tujuannya, menjamin pengakuan dan penghormatan hak asasi manusia serta kebebasan dasar orang lain, kesusilaan, ketertiban umum, dan kepentingan bangsa.
Pencabutan hak politik diatur dalam Pasal 35 ayat 1 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana, bahwa hak-hak terpidana yang dapat dicabut dengan putusan hakim di antaranya hak memegang jabatan, hak memasuki angkatan bersenjata, serta hak memilih dan dipilih dalam pemilihan umum. Oleh karena itu, ada landasan yuridis bagi hakim dalam menjatuhkan pencabutan hak politik sudah ada legalitasnya yang diatur dalam KUHP.