Lihat ke Halaman Asli

Setya Novanto "Kebal Hukum di Negara Hukum"

Diperbarui: 2 Oktober 2017   23:54

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

sumber gambar : merdeka.com

Jember - Kejanggalan demi kejanggalan yang mewarnai persidangan praperadilan Setya Novanto berujung pada tidak sahnya penetapan tersangka SN, putusan ini dibacakan oleh Hakim Tunggal Cepi Iskandar di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan pada 4 September 2017. Kemenangan Setya Novanto sudah dapat diprediksi sebelumnya, setidaknya ada 6 kejanggalan yang ditemukan oleh Indonesia Corruption Watch ( ICW ).

Yang pertama, saat Hakim menolak mentah-mentah untuk memutar rekaman bukti peran Setya Novanto dalam korupsi e-KTP saat sidang praperadilan Rabu (27/9/2017).  Penolakan Hakim ini sangat tidak logis. Alasannya Hakim berpendapat bahwa pemutaran rekaman sudah masuk pokok perkara.

Di satu sisi Hakim Cepi Iskandar malah membuka pengujian materi perkara dengan menolak eksepsi KPK terkait dengan pembuktian pemenuhan unsur pada Pasal 2 ayat (1) Undang-undang Tindak Pidana Korupsi, yang merupakan salah satu dalil permohonan praperadilan SN. Secara jelas pembuktian pemenuhan unsur pasal tersebut sudah masuk dalam pokok perkara dan tak seharusnya diuji melalui mekanisme praperadilan.

Kedua, Hakim menolak mendengarkan keterangan saksi ahli dari KPK pada 27 September 2017. Saat itu, hakim Cepi menolak ahli teknologi informasi Universitas Indonesia, Bob Hardian Syahbudin. Alasan hakim Cepi kembali lagi sama dengan alasan pertama, karena materi yang disampaikan pada persidangan sudah masuk dalam pokok perkara pembuktian korupsi e-KTP.

Yang ketiga, pada 22 September 2017 hakim menolak eksepsi KPK. Dalam eksepsinya, KPK menyampaikan berupa dua hal yang menjadi keberatannya, yaitu terkait status penyelidik dan penyidik independen KPK dan dalil permohonan Setya yang sudah memasuki substansi pokok perkara.

Keempat, hakim mengabaikan permohonan gugatan intervensi dengan dalih gugatan belum terdaftar di dalam sistem informasi pencatatan perkara. Hakim Cepi menolak permohonan intervensi yang sebelumnya diajukan oleh Masyarakat Anti Korupsi Indonesia (MAKI) dan Organisasi Advokat Indonesia (OAI). Padahal permohonan intervensi sudah didaftarkan sebelum sidang pertama praperadilan dimulai, yaitu tanggal 12 September 2017.

Kelima yang paling tidak dapat diterima akal sehat, hakim bertanya kepada saksi ahli KPK tentang sifat adhoc lembaga KPK yang tidak ada korelasinya dengan pokok perkara praperadilan. Dalam mendengar keterangan dari ahli hukum tata negara Universitas Andalas Feri Amsari, Hakim bertanya mengenai sifat adhoc lembaga KPK. Padahal tidak ada materi sidang praperadilan yang berkaitan dengan hal tersebut.

Terakhir keenam yang juga tidak logis, laporan kinerja KPK yang berasal dari Pansus Angket KPK di DPR dijadikan alat bukti dalam praperadilan. Kuasa hukum Setya Novanto membawa sejumlah bukti, di antaranya LHP BPK Nomor 115/HP/XIV/12/2013 atau LHKP KPK 115 yang intinya menjabarkan kinerja KPK selama 10 tahun ke belakang.

Dugaan sementara Dokumen ini diperoleh tanpa melalui prosedur yang sah, sebab dokumen tersebut diduga diperoleh dari Pansus Angket KPK, yang bukan dari lembaga resmi yang seharusnya mengeluarkan, yaitu BPK.

Apa langkah KPK selanjutnya?

"Bukti dalam perkara sebelumnya, tidak dapat digunakan untuk perkara selanjutnya" begitulah isi Putusan Pra Peradilan yang memenangkan Setya Novanto. Gugurnya status tersangka SN tidak begitu saja membuat KPK berhenti melakukan pengusutan kasus korupsi e-KTP terhadap dirinya.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline