Jember -- Ketidakhadiran Komisi Pemberantasan Korupsi dalam rapat dengar pendapat dengan DPR hari ini pada Rabu, 06 September 2017 membuat hubungan kedua lembaga negara ini semakin memanas. Rapat dengar pendapat dijadwalkan untuk meminta klarifikasi atas keterangan Direktur Penyidikan KPK, Aris Budiman yang menyatakan adanya friksi dalam lembaga anti rasuah ini.
Sebelumnya Ketua KPK, Agus Rahardjo menyatakan akan menahan anggota Pansus Angket KPK karena melakukan upaya menghalangi penegakan hukum ( Obstruction of Justice ). Namun, Pansus balik mengancam agar Ketua KPK berhati -- hati dalam berbicara atau akan dilaporkan ke kepolisian. Jika terus seperti ini, banyak energi terbuang untuk hal yang tak substantif.
Kedua lembaga negara baiknya untuk menahan diri dan meredam situasi. Dalam situasi tegang seperti ini, hal-hal kecil bisa jadi hal yang serius. Seperti ketidakhadiran pimpinan KPK dalam rapat dengar pendapat karena ada agenda lain di luar kota, ini bisa menjadi persoalan. Senin depan, RDP akan dijadwalkan ulang.
Kembali lagi, bagaimana caranya menahan diri. Pertama, ada sebuah proses hukum yang berlangsung di Mahkamah Konstitusi terkait konstutionalitas Pansus Angket KPK, KPK berpendirian bahwa Pansus ini Inskonstitutional, disini KPK harus menunggu putusannya. Yang kedua, DPR yang membentuk Pansus Angket ini ada 3 persoalan. Pertama, persoalan Yuridis terkait Konstituionalitas baik dari substansi dan prosedural Pansus Angket, disini saya punya pendirian bahwa tidak setuju dengan adanya Pansus Angket. Kedua, secara politis kedudukan Pansus sangat lemah karena tak semua fraksi yang masuk dalam Pansus bahkan ada fraksi yang menarik diri.
Ketiga, dilihat dari segi etis. Publik punya nalar bahwa apa yang dilakukan Pansus hanya memperlemah KPK, terbukti dengan 11 hasil temuan yang dirilis oleh Pansus beberapa waktu lalu yang sebagian besar berisi "curhatan" anggota Pansus. 11 Poin temuan Pansus dinilai hanya opini. Contohnya poin pertama, "dari aspek kelembagaan, Pansus menganggap KPK sebagai lembaga superbody yang tidak siap dan bersedia dikritik dan diawasi." Padahal dalam struktur ketatanegaraan kita, lembaga negara superbody itu tidak ada karena ada mekanisme checks and balances sehingga kekuasaan yang terpusat itu tidak ada lagi. Banyak pihak seperti media, masyarakat termasuk juga DPR yang melakukan pengawasan terhadap KPK.
Keenam, "dalam fungsi supervisi, Pansus menganggap KPK cenderung berjalan sendiri tanpa koordinasi dengan lembaga negara lain, dibandingkan dengan upaya mendorong, memotivasi dan mengarahkan kembali instansi Kepolisian dan Kejaksaan." Padahal KPK selalu melakukan tugas supervisi dan koordinasinya terhadap mitra kerja mereka dalam upaya memberantas korupsi, namun apabila polisi dan kejaksaan tidak mampu, maka KPK akan turun tangan langsung.
Kemudian poin ketujuh yang berbunyi, dalam menjalankan fungsi penyelidikan, penyidikan dan penuntutan, Pansus menganggap KPK tak berpedoman pada KUHP dan mengabaikan prinsip-prinsip hak asasi manusia bagi para pihak yang menjalani pemeriksaan.
Padahal dalam hukum ada asas lex specialis derogat legi generali, aturan khusus mengesampingkan aturan yang umum. KUHAP adalah aturan yang umum sedangkan UU KPK adalah aturan khusus dimana dalam UU KPK diatur tentang acara penyelidikan dan penyidikan. Jadi apa yang dilakukan KPK dalam mencari fakta tidak melanggar undang-undang.
Kemudian ada tuduhan dari anggota Pansus Angket bahwa KPK memberi tekanan Miryam S Handayani ketika melakukan pemeriksaan. Padahal rekaman pemeriksaan Miryam sudah dibuka dalam persidangan dan Miryam terlihat begitu santai sekali dan berlangsung aman.
Terakhir KPK dituduh menggunakan media dalam menggiring opini publik, padahal media punya independensi pers sendiri, apakah selama ini KPK pernah membayar media?
Kita tunggu saja hasil uji Konstitutionalitas Pansus Angket ini. Dibatalkan atau tidak, secara politis pasti DPR akan bekerja untuk mencari celah lain untuk melemahkan KPK. Pansus tak akan ada jika KPK tak menindak Kasus e-KTP. Selama anggota DPR terus ditangkap KPK karena korupsi, terus saja DPR akan berusaha menghancurkan KPK.