Semakin hari, semakin buruk kondisi transportasi di Jakarta. Sebagai kota metropolitan, tentunya Jakarta sangat jauh dibandingkan dengan kota-kota maju lainnya. Diskusi mengenai pentingnya transportasi massal sudah sangat banyak dan memunculkan berbagai ide-ide cemerlang. Namun, belum begitu terlihat hasilnya.
Dampak dari keruwetan di jalan raya, mengakibatkan ketidaknyamanan dalam mengendarai kendaraan di Jakarta. Selain harus hati-hati mencermati pergerakan metromini, angkot, bajaj dan sejenisnya juga harus waspada akan kehadiran motor dari segala arah. Kondisi macet, seringkali terjadi karena ulah dari para pengemudi sendiri, yang kadang tidak sabar dan mengambil jalur yang bukan hak-nya sehingga akhirnya menyumbat pergerakan kendaraan lainnya.
Sambil menyetir, kadang saya berfikir, apa sebenarnya pangkal permasalahan transportasi di Jakarta, sehingga terkesan semrawut. Bahkan dibandingkan dengan Beijing dan Tokyo yang mempunyai penduduk lebih besar dari Jakarta, kendala transportasi Jakarta menjadi momok tidak hanya bagi warganya namun juga para turis. Pernah saya menonton film Shincan, saat liburan keluarga mengalami macet sangat panjang, namun terlihat antrian yang rapi, tanpa ada yang saling serobot. Dalam kehidupan nyata, saya berkesempatan mengalami macet di Kota Tokyo dan sekitarnya, dan ternyata tidak jauh berbeda dengan apa yang digambarkan dalam kartun tersebut. Setidaknya meski kita khawatir terlambat atau bosan, hati kita tidak akan tiba-tiba kesal karena ada kendaraan yang menyerobot jalur kendaraan lainnya.
Kemacetan tentunya juga terjadi di hampir semua negara besar di dunia, namun masih dapat ditolerir. Kita tentunya harus mempelajari bagaimana mengendalikan limpahan kendaraan saat macet, dalam kondisi yang teratur dan penuh dengan kesabaran.
Satu hal yang mungkin bisa diterapkan adalah penerapan denda yang tinggi. Contoh paling mudah, adalah dengan melihat negara tetangga kita Singapura dan Australia yang menerapkan denda tinggi untuk berbagai jenis pelanggaraan lalu lintas, termasuk parkir illegal. Saya pernah membaca, negara bagian New South Wales di Australia mendapatkan pemasukan sekitar 15 juta dollar Australia atau sekitar 150 rupiah milyar perbulan dari denda lalu lintas.
Di negara-negara tersebut, investasiuntuk menata lalu lintas, antara lain memasang kamera di berbagai tempat sangatlah besar. Namun hal tersebut, berhasil meningkatkan kedisiplinan masyarakat, karena warga senantiasa merasa dipantau oleh kamera. Hasil jepretan kamera tersebut akan menjadi bukti adanya pelanggaran, baik parkir, kelebihan kecepatan, tidak memakai sabuk pengaman dll.
Aparat kepolisian tidak perlu repot untuk memberikan surat tilang, karena petugas akan memberikan informasi mengenai pelanggaran yang dilakukan ke alamat pemegang STNK, berikut dengan denda yang harus dibayarkan. Pelanggar bisa mempunyai berbagai pilihan untuk melakukan pembayaran, baik melalui ATM, transfer bank maupun online. Sekiranya menolak untuk membayar, tagihan berikutnya akan kembali datang, sampai akhirnya panggilan sidang apabila tetap menolak untuk membayar. Petugas akan mengakumulasikan denda yang wajib dibayar saat kita akan memperpajang pajak kendaraan, sehingga selama kita tidak membayar denda maka nomor registrasi tidak akan diberikan dan kendaraan tidak bisa dipindah tangankan.
Saya membayangkan sebenarnya kita bisa juga mencontoh sistem yang ada di negara-negara lain. Indonesia mempunyai kemampuan IT yang tidak kalah dengan negara lain. Begitu juga denagn sistem perbankan, sudah sangat memadai untuk membantu kelancaraan pembayaran denda. Sistem ini paling tidak bisa diterapkan di jalur bus way atau di perempatanjalan ramai. Para pengendara yang melalui jalur bus way dikenakan denda 1 juta untuk mobil, dan setengahnya untuk pengendara motor. Begitu juga apabila kita melewati marka jalan, langsung dikenakan denda yang sama. Begitu juga apabila tidak memakai sabuk pengaman, helm atau pelanggaran lainnya, harus diterapkan denda tinggi yang bisa membuat efek jera.
Sepanjang pertanggung jawaban dan pemanfatan hasil denda transparan, saya yakin masyarakat tidak akan keberatan dengan penerapan denda bagi pelanggar lalu lintas.
Saya sangat yakin, bila denda tersebut diterapkan, maka jumlah pelanggar lalu lintas akan semakin berkurang. Kita akan semakin nyaman berkendaraan. Kita tidak perlu mengumpat para pelanggar lalu lintas, yang terkadangmelanggang di jalur bus way saat kemacetan.
Saya juga berasumsi bahwa para pembesar Polri sudah mempelajari berbagai sistem penataan transportasi, termasuk kedisiplinan mengendarai kendaraan dari berbagai negara. Tinggal kemauan untuk merubah mindset untuk menata lalu lintas kota Jakarta menjadi lebih baik. Sepanjang kita masih menerapkan pola-pola lama dalam mengelola lalu lintas, sulit kiranya berharap kota Jakarta tidak akan semakin macet dan semrawut di masa depan.