Lihat ke Halaman Asli

Belajar Toleransi dari Al-Azhar dan Mesir

Diperbarui: 25 Juni 2015   05:42

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Gadget. Sumber ilustrasi: PEXELS/ThisIsEngineering

Mungkin kening akan berkerut ketika mendengar kata toleransi. Hal ini tidaklah aneh, karena kata toleransi saat ini seolah telah menjadi milik kaum liberal, ditambah lagi dengan adanya kelompok Islam yang tidak mau menerima perbedaan yang sejatinya adalah lumrah menyebabkan kata toleransi seakan hilang dari benak kaum muslim.

Bercerita tentang Mesir, sebuah negara yang kenyang dengan pengalaman peradaban, berbagai macam dinasti dengan ideologi yang berbeda silih berganti menguasai Mesir. Maka perbedaan pendapat dan ideologi bukanlah hal yang aneh kita dapatkan di negeri ini.

Dalam hubungan antara muslim dan non muslim, Mesir bisa dijadikan contoh nyata kedamaian antar agama, meskipun memang masih ada sedikit gesekan antara masing-masing pemeluk agama, namun tidak begitu parah seperti yang terjadi di negara lain, Indonesia misalnya. Begitupun antara hubungan sesama muslim yang berlainan ideologi: kaum Syi`ah dibebaskan untuk berziyarah ke makam imam Husain tanpa ada halangan atau diskriminasi. Begitupun empat madzhab fikih tersebar di kalangan masyarakat tanpa ada keributan antara penganut madzhab satu dan lainnya, sangat berbeda jauh dengan negara Indonesia yang mayoritas bermadzhab Syafi`i, sesama madzhab Syafi`i yang pro-kunut dan anti-kunut pun tak pernah habis berdebat.

Kita buka catatan sejarah. Islam masuk Mesir sekitar tahun 639-642 M, pada masa pemerintahan Umar bin Khatthab (634-644 M), dengan pasukan yang dipimpin oleh seorang sahabat Rasulullahshallallahu `alaihi wa sallam, `Amru bin `Ash. Zuhairi Misrawi (2010) menuliskan bahwa saat itu mayoritas penduduk Mesir adalah kaum Kristen Koptik, namun Islam bisa diterima oleh rakyat Mesir tanpa melalui jalan kekerasan, hal itu disebabkan karena `Amru bin `Ash sangat memahami bahwa mayoritas penduduk Mesir saat itu adalah ahlu kitab yang tidak diperangi kecuali jika mereka mulai memerangi. `Amru bin `Ash pun menjalin hubungan yang baik dengan rakyat Mesir meski berbeda agama, dan sepertinya itulah salah satu sebab berkembangnya Islam dan diterimanya Islam oleh masyarakat Mesir.

Setelah pemerintahan Khulafa’ Rasyidin berakhir, dinasti Umayah memegang kendali atas Mesir. Kota Fusthat dikembangkan sedemikian rupa oleh khalifah, salah satunya adalah Khalifah Abdul Aziz. Lalu ketika dinasti Abbasiyah berkuasa, pusat pemerintahan Mesir dipindah ke kota Askar, sebelah timur laut kota Fusthat. Pada saat dinasti Abbasiyah melemah, muncullah pemberontakan yang dilakukan oleh Ahmad bin Thulun yang mendirikan dinasti baru, Dinasti Thuluniyah yang dikenal dengan salah satu peninggalannya masjid ibnu Thulun.

Setelah itu datanglah dinasti Fathimiyah. Dinasti Fathimiyah menguasai Mesir selama dua abad lamanya, tahun 969-1171 M. dan menjadikan kota Kairo sebagai pusat pemerintahannya. Pada saat inilah masjid Al-Azhar dibangun untuk menjadi pusat penyebaran Islam saat itu. Perlu dicatat, meski dinasti Fathimiyah menjadikan ideologi Syi`ah Ismailiyah sebagai ideologi resmi negara, namun setelah dinasti itu hancur, ideologi Islam Sunni tetap menjadi mayoritas di Mesir. Hal itu disebabkan karena dinasti Fathimiyah dikenal toleran terhadap rakyat Mesir yang saat itu terdiri dari kaum Kristen Koptik dan Islam aliran Sunni. Bahkan A. Mansur Suryanegara (2010) menulis bahwa Dinasti Fathimiyah pernah mengangkat perdana mentri yang berasal dari kaum Kristen Koptik, yaitu Yaqub bin Killis dan Al-Jarjarai.

Dinasti Fathimiyah di Mesir pun tidak hanya membangun kekuasaan, namun mereka pun membangun infrastruktur yang bisa dinikmati bukan saja oleh kalangan kerajaan namun oleh seluruh rakyat Mesir saat itu. Disamping itu, Dinasti Fathimiyah tidak memaksakan rakyat muslim Mesir untuk berpindah aliran menjadi Syi`ah, dan juga tidak memaksakan rakyat non muslim untuk memeluk Islam. Maka, meski secara ideologi dinasti Fathimiyah bertentangan dengan rakyat Mesir yang beraliran Sunni namun dinasti Fathimiyah memiliki nilai tersendiri di benak seluruh rakyat Mesir, salah satunya karena peninggalannya yaitu Al-Azhar.

Datanglah Shalahuddin Al-Ayyubi menaklukkan kota Kairo pada tahun 1171 M. dengan membawa Islam Sunni yang beraliran Asy`ari dan bermadzhab fikih Syafi`i. Ia sempat menutup Al-Azhar selama seratus tahun lamanya untuk menghentikan pengaruh Syi`ah di Mesir, ia pun memindahkan pusat penyebaran Islam kembali ke masjid `Amru bin `Ash di Fusthat (Kairo Lama). Namun seperti dinasti sebelumnya, meski dinasti Ayyubiyah menjadikan madzhab Syafi`i sebagai madzhab resmi negara, namun madzhab Syafi`i tidak menjadi madzhab mayoritas bagi penduduk rakyat Mesir.

Hal itu bertolak belakang dengan dinasti Saud yang menguasai Hijaz dimulai sekitar tahun 1924 M. hingga saat ini, yang menjadikan aliran Salafi menjadi ideologi resmi negara dan menolak berbagai macam ideologi selainnya. Berkuasanya dinasti Saud yang mewajibkan ideologi salafi dan melarang adanya berbagai macam madzhab itulah yang mendasari diutusnya komite Hijaz yang meminta agar raja Ibnu Saud memberikan kebebasan untuk umat Islam non Salafi untuk menjalankan ajaran empat madzhab di Makkah dan Madinah. Utusan itulah yang kelak menjadi cikal bakal berdirinya Jam`iyyah Nahdlatul Ulama, 3 Januari 1926.

Al-Azhar pada awalnya dibangun untuk menjadi benteng utama penyebaran Syi`ah di Mesir dan di dunia Islam pada umumnya. Setelah dibekukan selama seratus tahun oleh dinasti Ayyubiyah, Al-Azhar justru mengalami masa keemasan pada dinasti Mamalik. Berbagai macam cabang ilmu dipelajari di Al-Azhar, pengajian tafsir, hadis dan fikih dari berbagai madzhab dihidupkan. Bahkan Al-Azhar merupakan institusi Islam pertama yang menjadi jembatan penghubunga antara dunia Islam dengan dunia barat, salah satunya dengan hubungan Al-Azhar dengan Universitas Sorbone Prancis. Sejak dua abad silam Al-Azhar telah membuka gerbang terhadap peradaban barat dengan mengirimkan berbagai guru ke Sorbone untuk mempelajari budaya dan kemajuan peradaban barat. Beberapa orang ulama Al-Azhar yang juga pernah mengenyam pendidikan di Prancis adalah Syaikh Rifa`ah Thahtawi sekitar tahun 1830 M. dan Syaikh Ahmad Thayyib yang merupakan Grand Syaikh Al-Azhar saat ini.

Toleransi, inilah salah satu hal yang penulis dapatkan selama masa hidup di Mesir. Al-Azhar yang kaya akan ilmu tidak memaksakan salah satu madzhab atau aliran kepada para pelajar, bahkan justru Al-Azhar mengajarkan berbagai macam aliran, dan tak lupa Al-Azhar pun mengajari bagaimana sikap untuk menghadapi perbedaan tanpa harus merusak ikatan sesama muslim karena perbedaan aliran. Penulis pun menyaksikan, berbagai macam buku dijual bebas di negeri ini, bahkan buku-buku yang “menyerang” ideologi Al-Azhar pun sangat bebas diperjual-belikan di belakang kampus. Tidak ada pembatasan peredaran buku seperti yang ada di negara Saudi, bahkan dengan tersebarnya buku dari berbagai aliran membuat para pelajar bisa mempelajari metode dari masing-masing aliran, melakukan perbandingan, sekaligus memperkaya khazanah keilmuan dengan tetap menjadikan metode Al-Azhar sebagai tumpuan dalam menyikapi perbedaan.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline