Lihat ke Halaman Asli

fahmi hakiki

tukang sambat

Toleransi Beragama dari Pandangan Umat Budha

Diperbarui: 29 Mei 2022   20:45

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

                Berbicara tentang agama atau kepercayaan, setiap orang memiliki kebebasan untuk memilih agamanya atau kepercayaannya tanpa ada paksaan dari pihak manapun. Semua inti ajaran agama dan kepercayaan sebenarnya  sama saja yaitu sama-sama mengajarkan untuk berbuat kebaikan. Tidak ada satupun agama atau kepercayaan yang mengajarkan untuk berbuat keburukan. Oleh karena itu tidak boleh ada yang saling menyalahkan antara agama satu dengan agama lainnya.

            Dalam hidup bermasyarakat sangatlah penting untuk saling menjaga kerukunan. Salah satu caranya adalah dengan saling bertoleransi terutama toleransi beragama. Memang jika berbicara tentang toleransi beragama ini sedikit rentan. Karena jika terjadi perpecahan pasti akan sulit untuk dipersatukan kembali.

            Namun toleransi beragama di Indonesia saat ini sudah sangat baik. Buktinya bisa kita lihat bahwa kondisi negara Indonesia masih aman-aman saja. Semuanya bisa terjadi karena saling antusiasnya antara pihak pemerintah maupun masyarakat sendiri dalam menjaga toleransi beragama tersebut. Semua bersatu dalam kemanusiaan. Karena sejatinya seluruh perbedaan yang ada pada setiap masyarakat pasti tetap ada persamaannya yaitu sama-sama manusia.

            Setelah sebelumnya saya bersama rekan-rekan saya pernah berkunjung ke salah satu tempat peribadatan kaum Kong Hu Cu atau klenteng di Kota Malang, kali ini saya dan rekan-rekan saya mencoba berkunjung ke salah satu tempat peribadatan kaum budha atau Wihara di Kota Batu yang bernama Wihara Dharma Mitra Arama dengan salah satu tujuan saya adalah untuk memperdalam rasa toleransi beragama saya.

            Pada kunjungan kali ini saya bersama rekan-rekan saya berkesempatan untuk mewawancarai salah satu pemuka agama buddha sekaligus ketua Wihara yaitu Bhikku Kantidaro. Beliau bukan orang asli Kota Batu melainkan asli Magelang yang sudah menetap di Kota Batu sejak Tahun 1992. Yang uniknya adalah ketika kami bertanya tentang usia beliau. Beliau memberitahu kami bahwa usia beliau masih 91 Tahun.

            Kami pun memulai perbincangan dengan basa-basi biasa untuk mengakrabkan diri. Kemudian setelah merasa cukup dengan basa-basinya maka mulailah kami bertanya dengan topik yang lebih mendalam. "Kalau dalam agama Islam itu pemuka agama disebut dengan ustadz, sedangkan kalau dalam agama Buddha apa ya?". Beliau menjawab "Kalau pemuka agama di agama Buddha itu disebut dengan Bante atau Bhikku". "Apa yang membedakan Bhikku dengan umat agama Buddha yang lain, Bhikku?". Beliau menjawab "Bhikku itu tidak boleh menikah atau berkeluarga". Disini kami semua baru saja mengetahui bahwa pemuka agama Buddha ternyata tidak diperbolehkan untuk menikah.

            Kami pun melanjutkan pertanyaan kami. "Kalau di dalam agama Buddha itu apa saja hal yang diperbolehkan dan dilarang, Bhikku?". Beliau menjawab "Semua hal yang baik dan bermanfaat baik diri sendiri maupun untuk orang lain itu diperbolehkan, dan begitu pula sebaliknya, semua hal yang tidak baik dan merugikan baik diri sendiri maupun orang lain itu dilarang, contohnya tidak boleh memimun minuman yang dapat memabukkan karena tidak baik untuk tubuh". Ternyata seperti inilah anjuran dan larangan dalam agama Buddha.

            "Apa yang membedakan antara Bhikku dengan umat agama Buddha biasa?". Tanya salah satu temanku. "Bhikku itu harus berpakaian khusus yaitu jubah cokelat untuk laki-laki dan jubah putih untuk perempuan, Bhikku juga wajib untuk mencukur rambut sampai gundul sebulan sekali pada rembulan pertama. Tidak hanya rambut tapi juga kumis dan jenggot jika tumbuh". Balas beliau.

            Kemudian teman saya yang lain mengajukan pertanyaan. "Untuk ibadah pada agama Buddha itu seperti apa, Bhikku?". Kemudian beliau menjawab "Untuk peribadahan dilaksanakan seminggu sekali pada hari Minggu. Itu untuk umat agama Buddha biasa. Namun kalau untuk penghuni Wihara sendiri melakukan ibadah setiap hari pada jam 16.00 -- 18.00 dan dilanjutkan lagi pada jam 19.00 -- 20.00". Kami pun baru mengetahui bahwa ada perbedaan waktu ibadah antara penghuni Wihara dengan umat agama Buddha biasa.

            Saya pun melanjutkan pertanyaan selanjutnya. "Apakah hari raya agama Buddha itu hanya hari raya Waisak saja, Bhikku?". Beliau pun menjawab "Tidak. Ada juga Magha Puja, Asadha, dan Kathina. Hari raya Waisak itu untuk memperingati kelahiran Sang Buddha, tercapainya tahap penerangan Sang Buddha, dan mangkat atau wafatnya Sang Buddha". Kami semua pun juga baru mengetahui tentang hal ini.

            "Kitab suci agama Buddha itu namanya apa, Bhikku?". Tanya salah satu teman saya yang lain. "Namanya Tripitaka. Tripitaka itu ada 3. Yang pertama Vinaya Pitaka berisikan semua peraturan untuk para Bhikku. Yang kedua Sutta Pitaka berisikan ceramah Sang Buddha yang dicatat oleh muridnya dan dibukukan. Yang ketiga Abhidhama Pitaka berisikan filsafat."

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline