Lihat ke Halaman Asli

Tumpukan Perasaan

Diperbarui: 16 Agustus 2016   10:44

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Karena menjadi lebih baik juga perlu yang namanya usaha yang terbaik. Meski hal baik tak pernah disambut ramah oleh beban dunia. Hal inilah yang bikin diriku mendongak ke langit biru. Mengepalkan tangan kanan ke atas. Menantang gulungan awan.

“Hey, kalian semua tidak tahu perasaanku!”

Menjadi jahat juga tidak selamanya membuahkan kenikmatan untuk sepanjang usia. Kelak, takdir menjemput tanpa ilham atau peringatan untuk bertobat. Karena perasaan takut juga bisa menunda diriku ke lubang hitam yang penuh dengan kesenangan semata.

“Aku ini baik, tapi sekitarku kenapa tidak baik?”

Suara gaduh pun aku terbangun dengan terpaksa di malam hari. Hiruk-pikuk keramaian asap di sepanjang jalan pun terpaksa ku hirup. Utusan tak masuk akal pun terpaksa ku terima sebagai bawahan yang direndahkan. Ratapan orang kaya berjubah pengemis pun masih kutorehkan secarik uang lima ribuan kepadanya. Monoton yang menjengkelkan.

Kutemui sebuah ingin yang begitu mempesona dipandang. Aku juga pemikir bukan hanya sekedar mangkir. Lihatlah nanti, beban yang kutanggung akan menuai hasil yang luar biasa. Ini mungkin sangat terlalu yakin. 

Tapi… tak apalah, karena pada intinya, tumpukkan perasaan ini bisa diredam hingga semuanya terbenam dan hanyut ke muara. Sebab, sabar adalah kunci emas yang masih sulit bagiku untuk diraih.




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline