Ardi selalu menyukai hujan. Saat rintik air jatuh ke tanah, seolah dunia berbicara kepadanya. Dalam setiap tetesnya, ia mendengar kisah-kisah yang tak terucap kisah kesedihan, harapan, dan keheningan. Ia sering bertanya-tanya, mengapa ia lebih nyaman dengan suara alam dibandingkan suara manusia di sekitarnya?
Di rumah, Ardi hanyalah bayang-bayang. Ibunya, Ningsih, seorang pekerja keras yang selalu sibuk dengan urusan rumah tangga. Ayahnya, Pak Hadi, tenggelam dalam pekerjaannya sebagai pegawai kantor yang tak pernah lepas dari layar laptop. Dan Lia, kakaknya, adalah bintang keluarga. Lia selalu menjadi yang terbaik di sekolah, di rumah, bahkan di hati orang tuanya.
Ardi, di sisi lain, seperti pelengkap yang terlupakan. Ia jarang bicara, jarang mengungkapkan perasaannya. Bukan karena ia tak ingin, tetapi setiap kali ia mencoba, kata-katanya seperti tenggelam dalam hiruk pikuk kehidupan keluarganya.
Suara piring dan gelas beradu di meja makan, mengisi keheningan pagi itu. Ardi duduk di kursinya, sendirian di ujung meja. Ibunya sibuk menyiapkan sarapan, sementara Lia duduk di meja makan, berceloteh tentang nilai matematikanya yang sempurna.
“Ibu, lihat ini! Nilai matematikaku sempurna lagi. Guru bilang aku satu-satunya yang bisa menyelesaikan soal tambahan,” ujar Lia dengan suara penuh kebanggaan, sambil menyodorkan kertas ujian.
Ningsih langsung menoleh dengan mata berbinar. “Lia, kamu memang anak hebat! Ibu bangga banget sama kamu” (sambil tersenyum lebar).
Pak Hadi, ayah mereka, yang sedang menyeruput kopi sambil memeriksa ponsel, ikut mengangguk. “Bagus, Lia. Kalau kamu terus begini, pasti bisa masuk universitas terbaik.”
Di sudut meja, Ardi hanya menunduk. Piring nasinya sudah hampir habis, tapi tak ada yang memperhatikannya. Ia ingin mengatakan sesuatu. Bahwa ia juga mendapat nilai sempurna dalam ujian fisika kemarin. Tapi suara kecil di dalam dirinya menahan.
Buat apa? Tidak ada yang peduli.
“Ardi,” suara ibunya tiba-tiba memecah lamunannya. Ardi mengangkat kepala dengan harapan. “Tolong ambilkan sendok dari dapur.”
Hanya itu. Bukan pujian, bukan perhatian. Hanya perintah kecil yang membuatnya kembali merasa tidak berarti. Dengan patuh, ia berdiri dan berjalan ke dapur.