Lihat ke Halaman Asli

Rindu Di Ujung Senja Karya Fahliza Syahira

Diperbarui: 6 November 2024   20:13

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Malam itu, hujan turun dengan derasnya, membasahi bumi yang seakan merasakan kesedihan Rina. Di sudut kamarnya yang sederhana, dia duduk meringkuk di bawah selimut, memandangi foto ayahnya yang tersenyum di sampingnya. Tiga bulan sudah berlalu sejak ayahnya pergi untuk selamanya, tetapi rasa kehilangan itu masih begitu menggerogoti hatinya.

Rina adalah seorang gadis berusia sebelas tahun, dan ayahnya, Pak Danu, adalah sosok yang selalu ada dalam setiap langkahnya. Sejak kecil, Rina belajar banyak hal dari ayahnya—bersepeda, menggambar, bahkan merangkai kata-kata dalam puisi. Ayahnya selalu membimbingnya dengan sabar, mengajarkan arti cinta, kejujuran, dan impian.

“Rina, jangan pernah takut untuk bermimpi. Mimpi itu adalah jendela untuk melihat dunia yang lebih indah,” kata Pak Danu suatu sore saat mereka duduk di taman, menikmati sinar matahari.

Sekarang, kenangan itu terasa seperti pisau yang menghujam hatinya. Rina merindukan suara tawa ayahnya, pelukan hangatnya, dan nasihat-nasihat bijaknya. Hujan di luar membuatnya merasa seolah langit pun ikut berduka.

Ketika hujan mulai reda, Rina beranikan diri keluar. Dia berjalan pelan ke taman tempat ayahnya sering mengajaknya bermain. Tanpa disadari, air mata mengalir di pipinya. Di bawah pohon besar yang pernah mereka naungi, dia duduk dan memejamkan mata, berusaha mengingat wajah ayahnya.

“Rina, jika kau merasa kesepian, ingatlah, aku akan selalu bersamamu. Dalam setiap mimpi dan dalam setiap hembusan angin,” suara ayahnya terngiang dalam ingatan, dan Rina merasakan semacam kehangatan di dalam hatinya.

Dia menggali sisa-sisa keberanian dan mengambil selembar kertas. Dengan pensil di tangan, dia mulai menulis puisi untuk ayahnya, mengekspresikan semua rasa rindunya.

“Ayahku, bintang di langit,
Kau pergi, tapi cintamu takkan pernah mati.
Dalam setiap detak jantungku,
Akan ku bawa namamu, selamanya.”

Puisi itu mewakili semua perasaan yang ada dalam hatinya. Saat menulis, Rina merasa seolah ayahnya ada di sampingnya, memberinya semangat. Dia menulis hingga langit gelap dan bintang-bintang mulai bermunculan.

Ketika pulang ke rumah, Rina mengikat puisi itu dan menaruhnya di dekat foto ayahnya. “Aku akan selalu mengingatmu, Ayah,” katanya pelan, seolah berbisik pada angin yang berhembus lembut.

Meski kehilangan itu takkan pernah sepenuhnya hilang, Rina tahu bahwa cinta ayahnya akan selalu hidup dalam hatinya. Dia mengangkat kepala, menatap bintang-bintang di langit. “Selamat malam, Ayah. Aku akan bermimpi tentangmu,” ujarnya, berharap bisa bertemu ayahnya dalam mimpinya malam ini.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline