Lihat ke Halaman Asli

Fahlesa Munabari

FISIP Universitas Satya Negara Indonesia

Spionase Siber: Membangun Benteng Pertahanan Digital

Diperbarui: 19 Januari 2025   09:04

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Birokrasi. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/GARRY LOTULUNG

Dalam era digital yang semakin maju, spionase siber menjadi ancaman serius bagi negara-negara di seluruh dunia, termasuk Indonesia. Spionase siber adalah praktik pengumpulan informasi secara ilegal melalui jaringan komputer, yang dapat mencakup data sensitif dan rahasia negara. Metode ini sering melibatkan teknik canggih seperti malware dan phishing. Data menunjukkan bahwa pada tahun 2020, terjadi kebocoran data besar-besaran di Indonesia. Lebih dari 91 juta akun Tokopedia dijual di forum gelap. Kasus ini menyoroti kerentanan data pribadi di dunia maya. Selain itu, laporan dari BSSN (Badan Siber dan Sandi Negara) menyatakan bahwa pada tahun 2022, Indonesia mengalami lebih dari 1.000 serangan siber setiap hari. Tiga puluh persen di antaranya merupakan upaya spionase siber.

Insiden di negara-negara besar seperti Amerika Serikat (AS), Rusia, dan China telah menunjukkan kelemahan dalam infrastruktur penting. Contoh nyata diantaranya adalah serangan "SolarWinds" pada tahun 2020. Dalam kasus ini, peretas Rusia berhasil mengakses data sensitif dari berbagai lembaga pemerintah AS. Serangan ransomware "WannaCry" pada tahun 2017 juga mengakibatkan gangguan besar pada layanan kesehatan di Inggris dan organisasi di seluruh dunia.

Di Indonesia, kerangka hukum yang ada, termasuk Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE) dan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP), masih belum memadai untuk menghadapi tantangan ini. Meskipun UU ITE diundangkan pada tahun 2008, banyak definisi dalam undang-undang ini masih kabur dan tidak komprehensif untuk menangani teknik spionase siber yang kompleks. Misalnya, Pasal 31 UU ITE menyatakan bahwa setiap orang yang dengan sengaja dan tanpa hak melakukan intersepsi terhadap informasi elektronik dapat dikenakan sanksi, tetapi istilah "intersepsi" dan "tanpa hak" tidak didefinisikan dengan jelas, sehingga dapat memperlemah penegakan hukum. Selain itu, Pasal 1 KUHP yang baru diundangkan pada tahun 2023 mencakup beberapa aspek spionase siber, tetapi masih terdapat tantangan dalam implementasi dan penegakan hukum yang efektif.

Kerangka hukum yang ada saat ini tidak mampu mengikuti perkembangan teknologi dan metode serangan siber yang terus berubah. UU ITE dan KUHP lebih fokus pada kejahatan siber yang bersifat umum, sementara spionase siber memerlukan pendekatan yang lebih spesifik dan terfokus. Sebagai contoh, definisi yang tidak jelas dalam UU ITE mengenai "akses" dan "intersepsi" dapat mengakibatkan kesulitan dalam penegakan hukum. Pelaku dapat dengan mudah menghindari sanksi. Selain itu, kurangnya regulasi yang mengatur kerjasama internasional dalam penanganan kejahatan siber juga menjadi kendala, mengingat banyak serangan siber bersifat lintas negara.

Di tingkat internasional, kerangka hukum yang ada juga belum memadai untuk menangani spionase siber. Meskipun terdapat beberapa norma hukum yang mengatur hubungan antar negara, hukum internasional tidak secara jelas mengatur berbagai elemen spionase siber. Hal ini membuka peluang bagi praktik jahat, termasuk pencurian data dan informasi sensitif, yang dapat dilakukan oleh pelaku kejahatan tanpa sanksi hukum yang jelas. Ketidakjelasan ini diperparah oleh kurangnya kerjasama internasional yang efektif dalam penegakan hukum. Banyak negara memiliki kepentingan yang berbeda dalam bidang keamanan siber. Misalnya, hampir semua negara besar dan maju di dunia seperti China, AS, Israel, Rusia, dan negara-negara lainnya terlibat dalam praktik spionase siber untuk keuntungan geopolitik, tetapi jarang menghadapi sanksi internasional yang berarti.

Lebih jauh, kurangnya kapasitas institusional juga menjadi penghalang utama. Banyak lembaga penegak hukum tidak memiliki sumber daya manusia yang terlatih dan infrastruktur teknologi yang memadai untuk mendeteksi dan menganalisis serangan siber. Misalnya, tanpa adanya ahli forensik digital yang terampil, penyelidikan terhadap kasus spionase siber yang kompleks dapat terhambat. Jejak bukti digital yang penting juga mungkin tidak dapat dikumpulkan atau dianalisis dengan baik. Koordinasi yang lemah antara lembaga pemerintah terkait juga memperburuk masalah ini sehingga mengakibatkan respon yang lambat terhadap insiden spionase siber. Dalam beberapa kasus, seperti kebocoran data besar-besaran yang terjadi di Indonesia, misalnya kebocoran data Tokopedia pada tahun 2020 dan data INAFIS (Automatic Finger Print Identification System) belum lama ini, koordinasi antara BSSN dan Kepolisian tidak berjalan dengan baik. Kebocoran ini melibatkan informasi pribadi dari jutaan pengguna yang dijual di pasar gelap. Respon yang lambat dan tidak terkoordinasi dari lembaga-lembaga terkait memperburuk situasi sehingga memungkinkan pelaku untuk melanjutkan aktivitas mereka tanpa hambatan.

Untuk mengatasi tantangan ini, beberapa strategi efektif dapat diterapkan. Pertama, peningkatan pelatihan dan pendidikan bagi petugas penegak hukum dalam bidang teknologi informasi dan keamanan siber sangat penting. Contohnya, program pelatihan yang dilakukan oleh lembaga seperti BSSN dengan menggandeng kampus-kampus untuk menciptakan kurikulum yang relevan dapat membantu petugas memahami dan merespon ancaman dengan lebih efektif. Kedua, investasi dalam infrastruktur teknologi yang memadai, termasuk perangkat lunak dan perangkat keras yang diperlukan untuk analisis forensik, akan meningkatkan kemampuan deteksi dan respon terhadap serangan siber. Misalnya, penggunaan sistem deteksi intrusi (IDS) dan perangkat lunak analisis forensik yang canggih dapat membantu dalam mengidentifikasi dan menganalisis serangan.

Ketiga, membangun kemitraan yang kuat antara sektor publik dan swasta dapat memperkuat ekosistem keamanan siber, termasuk berbagi informasi tentang ancaman. Contohnya, inisiatif seperti Cybersecurity Information Sharing Act (CISA) di AS dapat dijadikan model untuk meningkatkan kolaborasi antara pemerintah dan sektor swasta di Indonesia. Keempat, pengembangan kebijakan yang jelas dan terintegrasi antara lembaga pemerintah akan memastikan bahwa semua pihak terlibat dalam penanganan spionase siber secara efektif. Selain itu, memperkuat kolaborasi dengan aktor non-negara, seperti perusahaan swasta dan organisasi masyarakat sipil, dapat meningkatkan kesadaran dan kebijakan terkait keamanan siber. Mereka dapat berkontribusi dalam meningkatkan pemahaman publik tentang risiko spionase siber dan mendorong reformasi hukum yang lebih ketat.

Sebagian besar literatur tentang spionase siber menekankan perlunya reformasi hukum yang komprehensif. Hal ini termasuk peningkatan kapasitas institusional, kualitas kerja sama, dan pemahaman yang lebih baik tentang peran aktor non-negara dalam membangun sistem keamanan siber yang efektif di Indonesia. Dengan demikian, penting bagi pembuat kebijakan untuk merumuskan solusi yang lebih kuat dan adaptif terhadap kemajuan teknologi dan metode spionase.

Spionase siber adalah tantangan yang kompleks dan dinamis. Ancaman ini memerlukan perhatian dan tindakan dari semua elemen masyarakat. Sebagai bangsa yang berkomitmen untuk maju, Indonesia perlu memperkuat kerangka hukum dan kapasitas institusionalnya untuk menghadapi ancaman ini dengan bijaksana. Melalui kolaborasi yang erat antara lembaga pemerintah, sektor swasta, dan masyarakat sipil serta reformasi hukum yang tepat, bangsa ini dapat membangun sistem keamanan siber yang lebih efektif dan responsif. Saatnya bagi kita semua untuk berkolaborasi dan berinovasi serta menciptakan masa depan yang lebih aman dan berkelanjutan di era digital ini.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline