Lihat ke Halaman Asli

Menghabiskan Senja

Diperbarui: 24 Juni 2015   02:45

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Bukankah menyenangkan? Menjadi saksi ketika birunya langit yang sedikit disaput awan seperti lukisan para seniman di atas kanvas yang terhampar, perlahan tapi pasti lembayung menyapu habis warna cerah itu. Keindahan yang sebenarnya bisa kita lihat setiap hari di putaran waktu yang berjalan konstan.

Tapi, dengan dia? Itulah yang berbeda. Dia dengan sepeda tuanya, dengan aku yang terduduk menatap kejauhan. Kuakui sebersit rasa, menjelma bahagia.

Tidak selamanya kamu bisa begini, lirih hatiku menyesali.

Kenapa tidak?

Dia terlalu acuh! Kurasa bahkan dia tidak melihatku seperti harap hatiku. Dia hanya perlu hadir, menyapa dengan senyumnya yang tidak pernah berubah, beberapa kata yang terangkai kalimat yang membuat siapapun yang disapanya menoleh dan membalas senyumnya.

Berbeda. Tentu saja. Denganku. Sekali lagi, untuk hari yang berikutnya, berikutnya, dan berikutnya lagi untuk menata hatiku yang jungkir balik. Bisa jadi kelebihan muatan, karena terlalu banyak rasa yang tersimpan dibagian hatiku. Sedih, terluka, perih, senang, bahkan kadang aku ingin saja melompat dan berteriak bahagia. Hanya karena sosoknya tertangkap ekor mataku. Walaupun, pada akhirnya aku hanya menahan senyum dan menahan rasa sakit karena bekas sikutan temanku.

Hari ini, kuucap terima kasih untuk temanku yang memikirkan sebuah ide gila untuk memanggilnya agar menemani kami mengobrol. Menunggu sesuatu yang entah apa itu.

Temanku bilang, Sebentar saja. Nikmati kebersamaan yang tidak selamanya kamu dapat. Biar. Biar rasa hatimu tidak menawar karena luka yang selalu kamu biarkan bertambah menganga. Toh! Kita hanya berbincang.

Aku tidak tahu apakah harus bersyukur ataukah mengingkari semua ini.

Karena dia tersenyum?

Karena dia berbicara sambil menatapku?

Kali ini biarkan ekspektasimu tidak terlalu tinggi. Niikmati hadirnya, seperti halnya kamu menikmati lagu yang kamu nyanyikan di kamar mandi biasanya. Tambahnya.

*

Ah! Rasa-rasanya tidak seru jika tiba-tiba sudah menceritakan tentang sore itu tanpa tahu sebab-musabab mengapa aku rela-rela menuliskannya berlembar-lembar, hanya untuk perbincangan senja itu yang bahkan tidak sampai berjam-jam.

*

Awal kesadaran bahwa aku menyukainya, adalah ketika dia berjalan mendekati kami yang bergerombol duduk melingkar, brain-storming! Dan kalimat-kalimat yang datang bersamaan dengannya.

Seperti acara diskusi membosankan biasanya—sempat beberapa saat menghitung teman-teman yang menguap. Tapi, entah ini permainan takdir untuk apa. Kami menjadi dekat.

Dekat. Hanya sebatas mengobrol santai di tengah perjumpaan tak sengaja, obrolan lewat keyboard tak nyata di ponselku. Ataupun semacamnya yang diawali oleh temanku dengan,

Hanya.

Tidak tahu untuk apa, bagaimana, kenapa, aku senang. Kesenangan pertama yang kurasakan di tengah sempitnya dunia akademis yang penuh paradoks di kota kecil ini.

Lalu, hari itu.

Tidak. Tidak menyesal. Tapi, lebih kepada rasa sesak untuk sikapnya yang—aku sendiri kecolongan tidak sempat untuk mencari tahunya.

Dia menyanggupi untuk bermain ke tempat tinggalku. Apalagi yang dimiliki mahasiswa perantauan?

Yep! Kamar kost.

Tapi, ternyata itu adalah hari terakhir aku merasakkan kesenangan-kesenangan menggunung yang beberapa bulan sebelumnya membuat hatiku seperti tempat sampah yang nyaris tumpah isinya.

Dia duduk di sana. Berbicara dalam tekanan suaranya yang seperti biasa, tatapan yang tidak pernah berubah, dan tegas raut mukanya yang selalu sama setiap saatnya.

Kamu salah kalau berpikir, aku pantas untuk memilikimu. Persepsimu berhenti di sana, di sisi diriku yang mungkin menurutmu, Layak. Tidak. Buka matamu lebih lebar dan lihat aku seutuhnya. Maka, kamu mungkin tidak lagi mengenaliku. Terang kalimat itu memenuhi benakku dalam sepersekian detiknya.

Apa yang bisa dilakukan oleh orang dalam posisi ini selain menarik nafas sekuat tenaga? Apa maksudmu berkata begitu? Aku hanya mengatakan sejujur yang kubisa, kenyataan bahwa aku menyukaimu. Bahkan aku belum sempat mengatakan kamu tidak perlu menjawabnya. Toh! Aku bukan bertanya.

Dia tersenyum. Dengan senyum yang sama lebarnya, sama menenangkannya. Kamu benar. Aku memang tidak berkewajiban menjawab, karena jelas kamu tidak pernah mengajukan pertanyaan. Hanya saja, ketahuilah. Seharusnya mulai saat ini berhentilah menyimpan rasa itu untukku. Tidak benar rasanya, mengetahui kamu menyukaiku.

Lalu dia mengucap salam, dengan tekanan begitu pelan. Meraih sandal swallow-nya.

Pergi.

Masih tercium aroma parfumnya.

Ya Tuhan! Bahkan wanginya pun terlalu sederhana. Tidak menyengat, tidak pula terlalu tawar.

*

Ironis. Kami dekat hanya beberapa bulan. Setelah itu, dia tetap seperti biasanya untuk melanjutkan kesempatannya untuk hidup yang panjang, dan jangan tanyakan bagaimana denganku.

Aku melanjutkan hidupku. Dunia tidak kiamat, aku juga bukan perempuan yang selalu meratap setiap hari hanya karena orang yang kusukai membalas perasaanku dengan kata-kata tajamnya.

Tidak! Meski aku menyukainya. Sangat, tapi hidupku bukan hanya karena hadirnya.

*

Sore ini dan cerita-cerita yang lainnya.

Adalah hal-hal kecil yang aku percaya adalah hukum kausalitas yang semata bekerja di bawah kuasa Tuhan.

Bukan kebetulan semata.

Ketika temanku memanggilnya, ketika kami berbincang ringan, ketika langit biru yang tersepuh sempurna berangsur berganti gayutan lembayung.

Dan,

Diakhiri oleh senyumnya yang—ya tuhan! Begitu tulus, begitu indah. Dia mengangguk padaku sambil mengucap salam. Lirih.

Adalah hal-hal kecil yang membawaku menuju hal sederhana tentang,

Makna.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline