Cilembu adalah sebuah desa kecil yang berada Kecamatan Tanjungsari di Kabupaten Sumedang. Ubi sebenarnya bukan tanaman utama warga Cilembu karena sebagian besar adalah petani padi. Berbeda dengan beras yang diperdagangkan, ubi hanya dikonsumsi oleh keluarga petani. Ubi biasanya digoreng, direbus, dan dikukus. Sekitar tahun 1980-an, beberapa petani mulai menjual ubi bakar dengan mengirimkannya melalui Kabupaten Sumedang. Banyak yang menyukainya, sehingga ubi cilembu dijajakan di lapak-lapak pameran di Kabupaten Sumedang. Ubi Cilembu sudah dibawa ke pameran di luar negeri, seperti Vietnam dan Singapura.
Ubi Cilembu rasanya manis alami dan tidak ada bandingannya dengan ubi lainnya. Ubi Cilembu memiliki ciri khas tersendiri, terutama pada rasanya. Karena rasanya yang manis alami, renyah, dan lezat, ubi Cilembu tidak hanya digemari oleh konsumen lokal. Setelah mengadopsi bahasa masyarakat Pontianak dan Kalimantan Barat, ubi Cilembu diekspor ke Singapura dan Malaysia sejak tahun 1978, kemudian ke Jepang dan Korea.
Permintaan ubi cilembu dipenuhi oleh 4 (empat) kecamatan di Kabupaten Sumedang yaitu Pamulihan, Rancakalong, Tanjungsari dan Jatinangor. Keempat daerah ini memiliki iklim pertanian yang mirip. Menurut laporan tahunan Dinas Pertanian Kabupaten Sumedang tahun 2003, luas tanam ubi cilembu di empat kecamatan adalah 1.206 hektare, tahun ini hanya 785 hektare.
Ada kebutuhan yang meningkat untuk mengunjungi petani ubi di Cilembu karena semakin banyak pedagang kentang bermunculan akhir-akhir ini. Di masa lalu, teknik pembelian ubi yang jarang dilakukan pembeli telah berubah. Petani didatangi banyak pembeli dengan penawaran yang berbeda-beda, terkadang petani menjual dengan harga tinggi untuk mendapatkan harga tinggi.
Mengenai ubi Cilembu diatas pada dasarnya banyak hal-hal yang mempengaruhi berhasilnya industri ubi Cilembu di kalangan masyarakat Cilembu ini karena adanya dunia pariwisata yang telah membuka wahana baru bagi pemasaran makanan tradisional. Pada dasarnya tempat-tempat umum seperti pasar, kios-kios, terminal dan tempat-tempat pariwisata yang merupakan tempat pemasaran yang terbaik bagi berbagai jenis makanan tradisional.
Adanya COVID-19 merupakan sebuah tragedi yang menimpa semua orang di Indonesia tidak terkecuali para petani dan juga para penjual ubi Cilembu, mengalami kerugian yang cukup besar karena sepinya pengunjung adalah salah satu dari banyaknya musibah yang mereka harus alami, dan pada tahun 2022 dimana kebijakan PPKM dilepas merupakan awal dari bangkitnya usaha ubi Cilembu ini kembali naik sedikit demi sedikit dari pariwisata maupun kegiatan ekspor.
Pada tahun 1982 harga ubi Cilembu masih di bawah relatif rendah dan belum begitu dikenal di kalangan masyarakat. Tahun 1982-1984 ubi Cilembu hanya dikenal oleh masyarakat Cilembu saja, bahkan ubi tidak dijadikan bahan komoditi atau yang mempunyai tingkat ekonomi yang tinggi. Pada saat itu harga ubi Cilembu hanya Rp. 250/kg dan pada tahun 1983 warga Cilembu kedatangan KKN dari IPB Bogor, mereka mencoba membakar ubi di dalam oven dan setiap ada kunjungan, masyarakat Cilembu selalu menyuguhi ubi Cilembu. Awalnya yang datang ke Cilembu tidak mau memakan ubi Cilembu, tetapi setelah dicicipi biasanya mereka menambah dan membawa pulang ke rumah mereka masing- masing, sehingga ubi Cilembu menjadi terkenal di mana-mana.
Pada tahun 1982-1985 masyarakat Cilembu berkampanye melalui surat kabar dan media elektronik. Bahkan setiap ada pameran, masyarakat Cilembu mengisi ubi terus-terusan. Sehingga pada tahun 1993 kami mewakili Desa Cilembu untuk mengisi stand-stand di Jawa Barat dan pekan penerangan di Kalimantan, akhirnya tahun 1993 pertama kali yang membuka kios ubi Cilembu adalah Bapak Memet dan kios-kiosnya berada di Cigereleng, Cicadas dan Lembang. Karena nilai ekonominya tinggi sehingga bisa sampai terjual di pasaran dan menjamur kemana-mana kios ubi Cilembu. Sebelum ubi Cilembu terkenal, masyarakat Cilembu kebanyakan adalah para kuli dan mencangkul sampai ke Tanjung Kerta dan Bandung. Adapun yang lainnya sebagai buruh bangunan dan mereka hanya ada keterbatasan menanami ubi Cilembu itu pun tidak bisa menyerap tenaga kerja, karena ubi Cilembu belum terkenal di pasaran. Tetapi setalah ubi Cilembu terkenal dan terjual di pasaran, tenaga kerja mereka kebanyakan orang yang mempunyai tanah, jadi bisa menyerap tenaga kerja yang banyak.
Pada tahun 1995-2005 dengan adanya Bapak Endang, ubi Cilembu bisa menciptakan lapangan tenaga kerja baru, baik itu yang berjualan di luar ataupun yang menggunakan tenaga kerja yang mengisi ke Supermarket dan Carefour. Sebelum ubi Cilembu dipasarkan, ubi tersebut harus dibersihkan terlebih dahulu, maka petani Cilembu membutuhkan tenaga kerja 15 orang dan yang mengerjakannya adalah ibu-ibu. Akhirnya dengan terkenalnya ubi Cilembu bisa meningkatkan dan menyerap tenaga kerja yang banyak. Pada tahun 1982-1995 hasil produksi ubi Cilembu belum meningkat, karena di Desa Cilembu masih ditanami dengan singkong. Tetapi pada tahun 1982-2005 hasil produksinya terus meningkat dan pemasaran menjamur kemana-mana sehingga sampai ke luar negeri dan nilai produksinya menjadi banyak.
Dampak peningkatan ekonomi masyarakat Cilembu dari hasil industri pertanian ubi pengaruhnya sangat besar, semua itu dapat dilihat dari meningkatnya derajat kehidupan masyarakat Cilembu. Bahkan yang tadinya tingkat pendapatannya di bawah rata-rata, sekarang masyarakat Cilembu menjadi lebih maju. Pembangunan terus berjalan dan kondisi masyarakat Cilembu lebih baik dan tidak terjadi lagi busung lapar (HO). Sekarang masyarakat Cilembu dapat disejajarkan dengan masyarakat kota. Dalam kebutuhan hidup, masyarakat Cilembu sudah tercapai bahkan yang dulunya hanya mempunyai rumah panggung sekarang sudah bisa membangun rumah permanen dan di Cilembu sudah mencapai 70% yang mempunyai rumah permanen.