Lihat ke Halaman Asli

Jilbab

Diperbarui: 26 Juni 2015   17:52

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Jilbab dalam Islam merupakan representasi dari nafs al-mu’minaat yang telah dibersihkan (al-muththahharuun), cahaya iman yang telah “diberi pakaian” taqwa, dan karenanya jilbab juga merupakan representasi dari akhlaq yang mulia, keikhsanan.

Dalam konteks kekinian, dimana unsur-unsur peradaban semakin kompleks dan sistem kemasyarakatan pun mengarah kepada globalisasi, maka makna jilbab pun berkembang. Meminjam istilah Yi-Fu-Tuan, kita tidak dapat tetap bermoral dalam segenap makna kata tersebut, maupun menjaga proyek dan kreasi-kreasi kita termasuk perkakas, perumahan, perkotaan, dan pertamanan-kesungguhan moral dalam bentuk apapun, tanpa di suatu tempat dibelakangnya terdapat sebuah realitas religius yang dirasakan amat mendalam.

Fenomena menarik dari maraknya penggunaan jilbab di Indonesia, bahwa gerakan jilbab di Indonesia justru dipelopori oleh mahasiswi dilingkungan perguruan tinggi non IAIN dan sekolah menengah non-pesantren-institusi “sekuler”. Dari sini, popularitas jilbab kian mengemuka dan sangat menarik untuk didiskusikan kompromi yang terjadi, tradisi Arab dan apa yang merupakan ajaran agama. Cadar jarang dikenakan para mahasiswi di institusi perguruan tinggi Islam, justru dikenakan oleh mahasiswi dilingkungan perguruan tinggi sekuler. Perwujudan Islam yang lebih ekstrim menemukan dukungannya pada mereka yang belum mendalami nilai-nilai Islam semenjak kanak-kanak, namun oleh mereka yang menemukan pentingnya Islam dikemudian dalam kehidupan mereka (instant?).

Jilbab di Indonesia, adalah merupakan suatu peristiwa “100% modern bahkan terlampau modern” dimana perempuan berjilbab adalah sebagai suatu tanda globalisasi, suatu lambang identifikasi orang Islam di Indonesia dengan umat Islam di negara-negara lain di dunia modern ini, serta menolak tradisi lokal, paling tidak dalam hal berpakaian, dan sekaligus sipemakai juga menolak hegemoni Barat.

Jilbab : Genealogi di Indonesia
Pada awal mula “kedatangan” jilbab atau kerudung [jawa : kudung] hanya dianggap sebagai simbol busana kaum pinggiran, selain itu sipemakai pun sangat dibatasi oleh ruang dan waktu, semisal pada saat melayat, shalat tarawih jama’ah, atau pada saat hari raya [‘iedul fitri & ‘iedul adha]. Sedangkan wanita yang mengenakannya kemanapun ia pergi biasanya adalah seorang wanita yang telah ber-haji [hajjah] atau kalangan tertentu saja seperti pesantren. Tentu saja, hari ini hal tersebut telah mengalami lompatan yang cukup jauh. Jilbab pada dekade 80 dan 90-an [terlebih saat sekarang] telah menjadi mode dan menjadi simbol identitas muslim yang diakui di kalangan gadis-gadis muda.

Mesti ditegaskan bahwa rasa takut dan tekanan dari rumah harus dihadapi para gadis yang mengenakan busana itu. Banyak gadis yang tetap mengenakannya meski mendapat tentangan di rumah. Hal itu merupakan cara yang sopan untuk mengatakan : disinilah saya berdiri dan saya bangga karenanya. Jilbab bagi mereka adalah sebuah pembebasan. Karena dengan jilbab, mereka bisa beraktivitas di masyarakat secara leluasa tanpa harus dipandang rendah oleh orang lain. Feminisme biasanya memprotes ihwal terlalu dominannya laki-laki dalam melahirkan teologi kekuasaan. Misalnya, benturan dengan penggunaan jilbab yang diasumsikan sebagai penjara bagi kaum perempuan, mesti banyak juga yang membantah asumsi itu.

Jilbab hari ini, pemaknaannya begitu beragam. Membawa kecenderungan kearah ideologis. Bagi mereka yang kadang-kadang memakai jilbab dan kadang-kadang tidak—tergantung perasaan dan keadaan—jilbab hanyalah suatu cara berpakaian, bukan sebagai suatu simbol agama yang dikaitkan dengan suatu station spiritualitas tertentu. Pola pemahaman dan penafsiran terhadap jilbab seperti ini cukup banyak, dan bisa dikatakan sebagai suatu gejala yang biasa saja di kalangan aktivis yang bergelut dengan wacana. Suatu kesangsian semiotik terhadap jilbab dengan kesimpulan yang terlalu fatalis.

Jilbab : Antara Syari’at dan Fashion
Mengemukanya jilbab—utamanya 10 tahun terakhir—bisa dikategorikan sebagai sebuah fenomena gaya hidup pop, fenomena yang biasanya dikenal dengan nama “kudung gaul”, “jilbab trendi” atau “jilbab Britney”. Wanita yang mengenakan kerudung up to date tersebut biasanya selalu mengenakan jilbab pada saat bepergian keluar rumah. Jilbab itu kemudian dikombinasikan dengan pakaian semisal sweater atau t-shirt yang “kekecilan” [body-fit], tak ayal lekak-lekuk tubuhnya terdeteksi dan tergantung di atas pinggangnya, inipun masih dipadu dengan celana [jeans atau katun] yang—demi sebuah ke”matching”an—juga ketat, stretch atau hipster.

Gejolak diatas memang tengah menjadi suatu trend fashion yang seringkali diidentikkan sebagai pakaian anak gaul. Oleh karena itu cara pandang mereka berbeda dengan yang pertama tadi. Jilbab bagi mereka sangatlah banal dan permukaan, selain itu dalam pergaulan pun mereka mengikuti etika yang berlaku komunitas anak gaul seperti cara berpacaran, hanging out di pusat perbelanjaan, mendatangi jumpa fans atau konser idolanya, dan berteriak-teriak histeris, bahkan na’udzubillah dalam beberapa kasus ada yang hamil diluar nikah. Kudung gaul dalam hal ini bisa dikatakan sebagai suatu bentuk ideologi schyzofrenic.

Jilbab atau kudung gaul telah menancapkan keberadaannya sebagai salah satu model dalam relasi seks [relasi kuasa juga?]. Ia adalah sebilah cermin dari wajah kehidupan masyarakat, yang derapnya seiring dengan gelombang liberalisasi seks yang tengah melesak di tabir sexual clash of civilization. Eksistensi jilbab menjadi semakin complicated, ia merupakan bentuk kapitalisasi tubuh.

Di luar optik hukum [syari’at], jilbab—dalam sejarah awalnya—merupakan produk budaya yang bergandengan dengan kepercayaan mistik dan lambat-laun menjadi praktik seksualitas dengan lambaran agama. Ia diadopsi dan dimodifikasi menjadi format yang melampaui dunia rasionalitas dan sangat ekstrim. Jilbab gaul tetap eksis karena bergelinjang dengan pasang-surut libido manusia, diperkokoh oleh budaya dan agama, serta diperlempang oleh kekuatan modernitas dan materialitas. Dalam hal ini, faktor keterpikatan materi yang kapitalistik tak dapat diabaikan begitu saja, karena ia adalah katalisator dalam praktik jilbab gaul.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline