Lihat ke Halaman Asli

Dongeng yang Selalu Dirindukan

Diperbarui: 24 Juni 2015   21:38

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Gadget. Sumber ilustrasi: PEXELS/ThisIsEngineering

Ketika Alladin, Malin Kundang, Bawang Merah Bawang Putih dan beberapa kisah dongeng klasik lainnnya tayang di televisi, ada sedikit hal yang mengusik hati kita saat turut menyaksikannya. Visualisasi dongeng tersebut terasa jauh dari imajinasi yang telah terbentuk di benak kita selama puluhan tahun. Heroisme dan keindahannya kurang begitu terasa, ceritanya mengalir seperti dipaksakan dan terlalu banyak improvisasi cerita di dalamnya.Namun jika kita lihat saat anak-anak menontonnya, mereka terpaku di depannya, menikmati dengan begitu asyiknya sampai mungkin lupa waktu. Tidak seindah yang kita bayangkan memang, karena imajinasi kita telah terbentuk ketika dongeng-dongeng itu diperdengarkan oleh bapak atau ibu kepada kita semasa kecil dulu. Meskipun jumlahnya belum signifikan dengan tetap menjamurnya sinetron-sinetron yang seharusnya tidak layak ditonton anak-anak, kita patut mengapresiasi lahirnya dongeng-dongeng versi sinetron ini. Selain jumlahnya yang masih sedikit, ada beberapa sisi yang kurang pas terhadap lahirnya dongeng-dongeng klasik yang ber-casing modern ini, antara lain, pertama, jam tayang sinetron dongeng ini kebanyakan hadir di jam-jamwajib belajar anak yaitu antara pukul 19.00 s/d 22.00 yang itu bertepatan dengan jam prime time-nya siaran televisi, dimana pada jam tersebutlah produser membidik jumlah audience terbesar. Kedua, improvisasi yang terkadang berlebihan terhadap cerita yang sesungguhnya, melahirkan versi dongeng yang lain dan menjadikan dongeng tersebut terasa jauh dari sisi originalitasnya. Banyak sekali tambahan-tambahan cerita yang berkonotasi “lebay” (berlebihan) di dalamnya, yang pastinya hal tersebut menjadi tuntutan produser untuk memanjang-manjangkan seri tayangan sinetron dongeng tersebut kaitannya dengan ongkos produksi dan sisi bisnis. Yang kemudian menjadi pertanyaan adalah, relakah kita, ketika daya imajinasi anak-anak menjadi tidak terasah dengan baik, tergantikan dengan visualisasi “apa adanya”, dan bahkan kedekatan kita ter”rebut” oleh tayangan-tayangan dongeng versi sinetron tersebut di televisi?

Menurut pengamat anak, Seto Mulyadi: “Dalam menyampaikan isi cerita, televisi bisa saja menarik perhatian si anak karena dilakukan melalui visualisasi. Tapi dalam hal-hal lain ada yang hilang dan tidak bisa digantikan, yaitu kesempatan berkomunikasi secara langsung dan kesempatan berdialog. Mendongeng, kini menjadi sebuah tantangan besar bagi orangtua, yang terlalu sibuk dengan segala macam aktivitas dan rutinitasnya sehingga kedekatan dengan anak-anaknya kurang bisa terbangun melalui sebuah kegiatan sederhana tersebut.Adalah sebuah asumsi yang salah ketika perkembangan teknologi mulai menggeser paradigma bahwa segala macam dongeng ataupun cerita dapat tersampaikan melalui media-media modern yang ada. Pada penggunaan teknologi untuk penyampaian pesan cerita, tidak ada pola hubungan face-to-face, komunikasi, dan kehangatan yang dapat anak terima dari orangtuanya. Sedangkan hal tersebut dapat berdampak luar biasa terhadap perkembangan anak. Seperti yang dikatakan Lilian Holewell dalam bukunya: A book for Children Litarature, sedikitnya ada enam manfaat dongeng, yaitu: 1) Mengembangkan daya imajinasi dan pengalaman 2) memuaskan kebutuhan ekspresi diri. 3) memberikan pendidikan moral tanpa menggurui anak.4) Memperlebar cakrawala mental si anak dan memberikan kesempatan untuk meresapi keindahan. 5) Menumbuhkan rasa humor dalam diri anak dan 6) memberikan persiapan apresiasi sastra dalam kehidupan si anak setelah ia dewasa.

Kehadiran dongeng pada dasarnya bisa menjadi media yang sangat interaktif bagi anak dengan orangtuanya, dalam moment tersebut anak bisa melihat secara langsung bagaimana orangtuanya berekspresi, bagaimana orangtuanya menatap, mengelus dan menyisipkan hal-hal lucu yang dapat membuat mereka tertawa bersama, menangis bersama ataupun berdiskusi bersama. Komunikasi yang dibangun melalui dongeng tidak akan pernah mengalami bias atau distorsi dalam penyampaian pesannya. Berbeda sekali ketika dongeng hanya tersampaikan melalui media TV, dongeng tidak tersampaikan secara interaktif, statis dan anak tidak dirangsang untuk menjadi lebih kritis.

Kita hidup di era global. Dimana pola pergaulan dan gaya hidup menjadi lebih terbuka serta permisif terhadap hampir semua permasalahan. Kebebasan pers, reformasi, perekonomian global, semua membawa pengaruh pola hidup dan tatanan sosio kultural yang berdampak juga terhadap transformasi nilai-nilai agama, moral dan budaya nasional. Dengan menyampaikan dongeng kepada mereka, itu artinya kita telah membangun berjuta harapan agar mereka dapat tumbuh menjadi generasi yang humanis, peka terhadap lingkungan sosial dan budaya.

Bagi anak-anak, setiap hari adalah hal yang istimewa dan luar biasa, jika ada daya dukung yang diberikan oleh semua orangtua ataupun orang dewasa didekatnya. Karena ketika anak-anak kita terlalu asyik di depan televisi, bukan berarti mereka tidak merindukan dongeng tersebut kita bacakan menjelang mereka tidur. Tetapi lebih kepada bagaimana kita mengatur kesempatan, kemauan dan mengkondisikan supaya dongeng itu ada disetiap malam-malam mereka.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline