Dalam suatu kesempatan Pramoedya Ananta Toer menuliskan, “Tak mungkin orang dapat mencintai negeri dan bangsanya, kalau orang tak mengenal kertas-kertas tentangnya. Kalau dia tak mengenal sejarahnya. Apalagi kalau tak pernah berbuat sesuatu kebajikan untuknya.” Pepatah juga mengatakan, “Tak kenal maka tak sayang.”Agaknya Pram ingin mengejawantahkan pepatah populer itu ke dalam konteks ke-Indonesia-an, dalam artian menjadi sesuatu yang konkret. Mencintai Indonesia adalah mengenal Indonesia. Atau bisa juga kita maknai, menjadi Indonesia adalah mengenal Indonesia dengan lebih intens.
Belakangan ini sering terdengar asumsi-asumsi bahwa bangsa kita sedang dilanda krisis karakter. Kata beberapa intelektual, bangsa kita seperti kehilangan karakternya. Bangsa Indonesia dikenal sebagai bangsa ramah, nyatanya tawuran dan konflik selalu menghiasi media massa. Itu hanya satu saja contoh. Kalau kita mau telisik, ada lebih banyak masalah karakter kebangsaan yang kita hadapi dewasa ini. Individualisme yang menguat di masyarakat, kehidupan ekonomi yang semakin konsumtif, dinamika politik yang carut marut, hingga memudarnya nilai-nilai fundamental dalam masyarakat kita. Aspek-aspek kehidupan komunal masyarakat Indonesia yang bersifat indigenous seakan telah tergusur oleh pragmatisme globalisasi dan modernitas.
Kita coba bicara sedikit text book dengan memahami terlebih dahulu apa itu terma “karakter”. Dalam ilmu antropologi, karakter dalam konteks komunitas etnis atau bangsa dipandang sebagai tata nilai dan keyakinan yang mengejawantah dalam kebudayaan suatu masyarakat dan memancarkan ciri-ciri khas keluar sehingga dapat ditanggapi orang luar sebagai kepribadian masyarakat tersebut. Lebih jauh lagi, karakter secara psikologis bisa dibentuk melalui internalisasi nilai-nilai melalui interaksi dan sosialisasi individu dalam komunitasnya. Dari sini bisa kita tarik kesimpulan kecil, bahwa karakter itu bersifat khas dan dapat dibentuk. Berangkat dari pemahaman sederhana inilah kata-kataPramoedya di atas menjadi penting.
Dalam pemikiran saya, menghadapi permasalahan dekadensi karakter bangsa tidaklah mesti berpangkal dari sesuatu yang muluk dan teoritis. Banyak cerdik pandai negeri ini berbicara tentang pendidikan karakter, sosialisai nilai-nilai pancasila, menegakkan pilar-pilar kebangsaan, atau membendung globalisasi. Kita perlu kembali ke akar rumput masalah, memperkenalkan kembali atau mengenal kembali Indonesia. Itulah yang dimaksud Pram. Kalau bicara praktisnya, mengenal dan memperkenalkan Indonesia bisa dilakukan dengan traveling dan berbagi pengalaman itu melalui media kreatif. Langkah sederhana dan siapa pun bisa.
Ide awalnya adalah dengan kegiatan traveling itu kita bisa mengakrabi alam dan budaya masyarakat Indonesia. Dari situ kita bisa memotret, menulis, atau membuat video lalu membaginya melalui media kreatif yang mudah dicerna oleh masyarakat umum. Twitter, facebook, youtube, instagram, atau blog akan sangat efektif dalam proses memperkenalkan ini. Massif dan dekat dengan kehidupan anak muda. Ya, anak muda, seperti kata para intelektual, “pemuda adalah penerus bangsa”. Karena itulah golongan ini sentral perannya. Sebagai pelopor dan sekaligus sasaran edukasi.
Belakangan ini kegiatan traveling, travel writing, dan atau kegiatan-kegiatan experience sharing melalui media kreatif cukup menggema di kalangan anak muda. Inilah peluang yang mesti dimanfaatkan. Bukankah lebih efektif dan menarik jika membuat film dokumenter budaya Indonesia, daripada ngantuk duduk mendengar seminar sosialisi pilar kebangsaan yang terkesan teoritis. Bukan berarti sosialisasi seperti itu tidak efektif, namun kita bicara tentang bagaimana mengemas dan mendekatkan kearifan budaya bangsa kepada anak muda yang tidak bisa duduk diam. Sederhana saja konsepnya. Traveling, menyelami alam budaya masyarakat, dan berbagi.
Usaha-usaha kreatif semacam ini sebenarnya telah banyak diinisiasi oleh kawan-kawan pemuda. Melalui media twit di twitter mereka berkicau tentang kearifan masyarakat budaya tertentu di belahan lain Indonesia. Melalui Instagram, para penyuka fotografi berbagi hasil potretnya. Melalui Youtube, pegiat film muda membagi film pendek maupun dokumenter tantang budaya Indonesia. Melalui blog, para travel blogger muda menceritakan pengalaman mereka going nature dalam suatu komunitas adat di pelosok Indonesia. Melalui, komunitas jalan-jalan, mereka mengajak anak-anak sekolahan blusukan ke museum dan keliling kota tua yang hampir terlupakan. Hampir semuanya diprakarsai dan dijalankan oleh anak muda. Sasarannya pun anak muda.
Barangkali memang kegiatan-kegiatan seperti ini tampak biasa saja. Juga tidak serta merta setelah membaca sebuah artikel budaya di majalah travel atau nonton film dokumenter tentang suku Baduy misalnya, lantas pembaca atau penonton langsung tergugah. Langsung cinta sepenuh hati pada Indonesia dan berkarakter khas Indonesia. Tentu saja tidak. Sosialisasi dan internalisasi tetaplah sebuah proses yang tak bisa diukur batas waktunya. Sekali-kali tidak ada jaminan dalam beberapa tahun kedepan masyarakat kita, terutama anak mudanya, akan menjadi masyarakat yang berkarakter khas Indonesia. Sekali lagi tidak. Yang kita sama-sama lakukan adalah kembali mengenal dan memperkenalkan. Terbentuknya karakter kebangsaan yang kuat dan khas sekali-kali bukanlah hasil yang prediktif. Karena hal itu tetaplah sebuah proses dan akan terus berkelanjutan.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H