Lihat ke Halaman Asli

Urgensi Kacamata Sosiologi Hukum terhadap RUU PKS di Indonesia

Diperbarui: 28 November 2021   06:20

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Ilmu Sosbud dan Agama. Sumber ilustrasi: PEXELS

Berbicara mengenai sexual harassment atau pelecehan seksual terhadap kaum hawa dan perlindungannya tidak akan pernah berhenti sepanjang peradaban umat manusia. Data Komnas perempuan mengemukakan jumlah tingkat kekerasan seksual yang menimpa perempuan masih sangat tinggi. Bentuk-bentuk kekerasan seksual sendiri sangat banyak bukan hanya perkosaan atau kekerasan dalam rumah tangga saja, tetapi kekerasan seksual juga meliputi perbuatan yang merendahkan, menghina, menyerang dan tindakan lainnya terhadap tubuh yang terkait dengan nafsu perkelaminan, hasrat seksual seseorang, dan fungsi reproduksi yang dilakukan secara paksa, bertentangan dengan kehendak seseorang yang menyebabkan seseorang itu tidak mampu memberikan persetujuan dalam keadaan bebas, karena ketimpangan relasi gender dapat berakibat penderitaan atau kesengsaraan fisik, psikis, seksual, kerugian secara ekonomi, sosial, budaya, dan politik.

Tidak hanya kekerasan fisik saja yang banyak terjadi tetapi seiring berkembanganya teknologi kekerasan nonfisik juga menjadi momok yang menakutkan dalam kehidupan, terlebih lagi bagi perempuan. Menurut Catatan Tahunan (CATAHU) Komnas Perempuan yang dirilis setiap 8 Maret, tercatat jumlah kasus Kekerasan terhadap Perempuan sepanjang tahun 2020 sebanyak 299.911 kasus di Indonesia. 

Namun, jika dilihat dari fakta yang ada menujukkan bahwa banyak sekali korban-korban kekerasan seksual yang tidak mau melapor dikarenakan adanya ancaman dari pelaku yang ditujukan kepada korban dan sisi juga adanya budaya victim blaming. Sikap menyalahkan korban yang selama ini ada merupakan anggapan bahwa kekerasan seksual sepenuhnya tidak terjadi karena kesalahan pelaku, namun hal itu juga merupakan kesalahan korban yang sering dinilai mengundang para pelaku untuk melakukan hal tidak diinginkan korban yaitu tindakan seksual.

RUU PKS atau yang biasa kita kenal dengan Rancangan Undang-Undang Penghapusan Kekerasan Seksual secara resmi telah ditarik dari daftar Program Legislasi Nasional (Prolegnas) Prioritas 2020. Hal ini tentu sangat menggemparkan dan menunai pro kontra di kalangan masyarakat. 

Dengan banyaknya kasus kekerasan seksual yang semakin meningkat setiap tahunnya dan peraturan yang ada secara komprehensif belum dapat melindungi korban kekerasan seksual, justru RUU PKS yang sangat disambut baik oleh masyarakat sebagai payung hukum yang dapat melindungi korban dan memberikan hak-hak terhadap korban telah resmi ditarik dari Prolegnas. Banyaknya kasus kekerasan seksual yang terjadi di Indonesia sangat dipengaruhi dari lingkungan masyarakat yang tidak peduli terhadap kasus ini dan menganggap korban yang melapor akan kasus kekerasan seksual yang menimpa dirinya dianggap masyarakat terlalu berlebihan.

Kekerasan seksual kerap terjadi karena adanya ketimpangan relasi antara pelaku dan korban. Kekuasaan yang dimiliki pelaku sering kali disalahgunakan untuk membuat korban menjadi menurut dengan berbagai ancaman dan tekanan yang dilakukan oleh pelaku. Aturan hukum yang memberikan perlindungan terhadap relasi kuasa antara pelaku dan korban sejauh ini hanya terdapat dalam pasal 1 peraturan mahkamah agung nomor 3 tahun 2017 tentang pedoman mengadili perkara perempuan berhadapan dengan hukum yang berbunyi: “Relasi kuasa adalah relasi yang bersifat hierarkis, ketidaksetaraan dan/atau ketergantungan status sosial, budaya, pengetahuan/pendidikan dan/atau ekonomi yang menimbulkan kekuasaan pada satu pihak terhadap pihak lainnya dalam konteks relasi antar gender sehingga merugikan pihak yang memiliki posisi lebih rendah”.

Contoh konkret kekerasan seksual atau pelecehan seksual yang dilatarbelakangi oleh faktor relasi gender seperti salah satunya yakni kekerasan seksual antara guru dengan siswa yang sering kali memanfaatkan kuasanya dengan menggunakan nilai untuk mengancam siswanya. Berkaitan dengan uraian tersebut, belum lama ini terjadi kasus pelecehan seksual yang dialami oleh salah seorang mahasiswi Universitas Riau (UNRI) jurusan Hubungan Internasional mengaku jadi korban pelecehan seksual oleh Dekan FISIP UNRI yang menjadi dosen pembimbingnya.

Kronologi singkat dari kasus ini yaitu Saat itu, hanya mereka berdua di ruangan. Mengawali proses bimbingan, kata korban, SH malah bertanya bukan seputar proposal skripsi, melainkan terkait kehidupan pribadi. Justru, dalam proses bimbingan proposal itu, SH mengucapkan kata-kata yang tidak pantas seperti 'i love you' kepada korban. Saat hendak berpamitan usai bimbingan proposal, kata korban, SH mulai bertingkah aneh, SH menggenggam kedua bahu korban dan mendekatkan tubuhnya. Kemudian pelaku menggenggam kepala korban dengan kedua tangannya. Setelah itu, SH mencium pipi sebelah kiri dan mencium kening korban.

Semulanya, setelah kejadian tersebut korban meminta bantuan kepada salah satu dosen di jurusannya untuk mengadukan dugaan pelecehan seksual yang dialaminya ke Ketua Jurusan dan meminta pergantian pembimbing proposal. Namun, respon dari dosen tersebut menurut pernyataan korban mengaku diintimidasi dan ditertawakan oleh pihak jurusannya. 

Karena respon dari dosen tersebut kurang mengenakkan, akhirnya pengakuan korban tersebut diunggah ke dalam postingan sosial media berupa video pengakuan atas kasus yang menimpanya. Akan tetapi, SH balik melaporkan L ke Polda Riau atas dugaan pencemaran nama baik. Tak hanya itu, SH juga melaporkan akun Instagram @komahi_ur sebagai pihak yang pertama kali mengunggah video pengakuan korban terkait dugaan pelecehan seksual tersebut. Kelanjutan dari kasus kekerasan seksual tersebut masih dalam proses penyidikkan dan belum mendapatkan keputusan pengadilan.

Secara umum hal yang utama menjadi akar masalah adalah adanya ketimpangan relasi gender yang dibentuk oleh budaya patriarki sehingga dalam berbagai sisi kehidupan perempuan dianggap sebagai makhluk nomor dua. Budaya patriarki yang telah ada menjadikan hipermaskulinitas ini tidak dapat dihilangkan. Budaya patriarki ini menggambarkan bahwa kontrol utama di dalam sebuah masyarakat diperankan oleh laki-laki, hal tersebut berbanding terbalik dengan perempuan yang hanya memiliki sedikit pengaruhnya. Hipermaskulinitas membuat budaya patriarki sulit dihilangkan sehingga dapat memperbesar peluang terjadinya ketimpangan relasi kuasa.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline