Lihat ke Halaman Asli

Fadzul Haka

Follow Thyself!

Wangsit Filosofi Silas

Diperbarui: 30 Januari 2020   08:32

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Filsafat. Sumber ilustrasi: PEXELS/Wirestock

Terima kasih, ketiba-tibaan dan waktu untuk kesempatan berharga ini. Di sela-sela mengerjakan kembali analisis di bab 4, saya sempat memikirkan tentang filosofi Silas (silih asah, silih asih, silih asuh) yang diterapkan para simpatisan Deddy Mizwar-Dedi Mulyadi dalam kampanye Pilgub Jabar tahun 2018 di media sosial Facebook. Mulanya, saya memikirkan kembali penjelasan tentang strategi dan penerapan filosofi tersebut berdasarkan teori kuasa Michel Foucault.

Saya memang sudah menyelesaikan pembahasan untuk itu, hanya saja data baru dan pemahaman saya saat ini memberi suatu interpretasi yang menarik. Dugaan saya saat ini adalah apakah mungkin apabila wacana filosofi Silas adalah sejenis pengetahuan yang kuasanya berjalan tanpa kuasa? Jawaban untuk pertanyaan itu biarlah untuk saya sendiri, sebab dalam tulisan sederhana ini, perspektif dan reinterpretasi filosofi Silas akan lebih penting bagi siapa pun.

Mari kita kenali dulu apa yang dimaksud dengan 'kuasa' dalam pemikiran Foucault. Filsuf berkebangsaan Prancis yang botak dan bisa Anda bayangkan seperti Lex Luthor ini, dikenal meneliti kawasan 'gelap' institusi modern seperti penjara, rumah sakit jiwa, klinik psikiatri, dan tabu-tabu semisal dalam persoalan seks. 

Foucault menemukan bahwa sejarah kemunculan institusi dan wacana-wacana kita hari ini berangkat dari serangkaian permainan aktor-aktor yang punya kepentingan masing-masing. Oleh karenanya, pengetahuan yang melegitimasi kemunculan suatu institusi beserta praktiknya, tidak akan 'suci' dari yang namanya kekuasaan, bahkan kekuasaan itu sendiri bisa jadi 'rahim' pengetahuan!

Saking intimnya hubungan antara kuasa dengan pengetahuan, terkadang dalam literatur pemikiran Foucault sampai dituliskan sebagai 'kuasa/pengetahuan'. 

Dengan nada pesimis, hampir tidak mungkin memikirkan pengetahuan tanpa kuasa, sebab pengaturan tentang bagaimana suatu pengetahuan itu menentukan apa yang benar, baik, dan boleh dikatakan pada suatu masa atau kondisi tertentu, bergantung pada keberadaan otoritas, konvensi bersama, dan cara berpikir atau gaya hidup yang sudah kita terima begitu saja. 

Konsekuensinya, kutukan dari pemikiran posmodern satu ini adalah tidak mungkin ada suatu pengetahuan yang ahistoris, transenden seperti dalam filsafat Plato (kaum idealis umumnya) dan Immanuel Kant, sampai akhirnya penolakan pada kebenaran absolut tentang pengetahuan tersebut. Sekedar bagian dari sejarah di suatu tempat yang tidak melulu berhubungan dengan alur kronologis sejarah global.

Tampaknya kita perlu mengucapkan 'sampai jumpa' pada Foucault sampai sini, sebelum tulisan ini menjadi ceramah filsafat walau ini berarti kita sedang 'dirasuki' operasi kuasa/pengetahuan konsep silih asah. 

Nah, apa sudah terbayang mengapa filosofi Silas itu tadi saya katakan sebagai kuasa tanpa kuasa? Sederhananya, suka tidak suka, silih asah itu terjadi di mana-mana bukan hanya di ruang kelas. 

Mau tidak mau, silih asih itu terjadi karena kita manusia yang butuh sesama. Dan tentu saja, rela tidak rela, silih asuh terjadi meskipun kita tidak kenal dengan orang yang dibantu, atau terkadang memendam rasa benci sekali pun -- kepo sedikit saja, Anda akan menabung aktualisasi konsep silih asuh. 

Tapi tunggu dulu, bukan hanya itu saja bagian yang menariknya, melainkan karena siapa pun bisa saja memasang filosofi Silas sebagai motto... (saya lupa bagian ini gara-gara teralihkan cicak yang memangsa cicak lainnya) katakan saja begitu, dan secara sendirinya tanpa paksaan, dorongan hati yang berembel-embel, atau pun niat, filosofi ini terealisasi sebaik-baiknya. 

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline