Sepulang ber-backpaker dari Yogyakarta sekaligus mengikuti perkuliahan filsafat di Universitas Gajah Mada, kegelisahan dan ketidaksukaanku pada kota Bandung menjadi jelas. Selama di Yogyakarta, saya mengelilingi kota dengan menumpang ojek, perjalanan diisi dengan perbincangan yang tentu saja Bandung adalah salah satu topiknya.
Selama mengobrol, saya sadar bahwa saya sedang menjelek-jelekan kota kelahiranku sendiri. Tapi semua itu merupakan ekspresi kekecewaanku pada kondisi Bandung hari ini, sekaligus kekhawatiran pada masa depan 'Paris van Java' itu sendiri. Terkadang saya berangan-angan untuk memiliki rumah yang jauh dari kota ini -- sebuah keinginan untuk melarikan diri.
Namun, setelah perjalanan ini saya mengerti mengapa saya harus bertahan di sini, dan apa yang harus kucari, apa yang harus kubuat untuk membuat kota yang memikat para pendatang ini menjadi tempat yang lebih baik.
Meskipun baru dua kali ke Yogyakarta, dengan total menghabiskan waktu 10 hari, banyak yang kukagumi dari kota pelajar ini. Salah satunya kehidupan masyarakat di sana, entah mengapa saya ikut merasa tenang manakala melihat orang-orang duduk lesehan di sekitar angkringan, menikmati kebersamaan mereka sampai larut malam.
Bagian lain dari kehidupan masyarakat yang membuatku kagum adalah kearifan lokal yang tampak berintegrasi dengan keseharian masyarakatnya. Setidaknya menurut pengamatanku sendiri, saat menemui arca-arca di sudut kota dan berbincang-bincang dengan tukang ojek yang mengantarku (semoga dalam kesempatan lain saya bisa mengeksplorasi lebih jauh tentang kearifan lokal ini).
Saat diantar menuju Shopping Centre, mas tukang ojek menjelaskan padsaya perihal festifal kesenian yang didanai oleh pemerintah. Setahuku festival seni di Yogyakarta merupakan acara rutin setiap tahun. Lain dengan di Bandung yang baru digagas dengan acara 'Seni Bandung' 2017 lalu yang menemui banyak kendala, pendanaan salah satunya. Padahal banyak seniman Bandung yang patut diapresiasi, kalau pun ada ruang untuk itu sayangnya tidak dilaksanakan sebagai acara kolosal se-Bandung.
Sambil terus melaju, saya menceritakan kembali tentang kesulitan dana Seni Bandung yang kuketahui dari pertemuan bersama seniorku, kang Zulfa, dan bapak Iman Soleh, seniman teater 'Celah-Celah Langit' yang bertempat di belakang terminal Ledeng.
Ucapan paling berkesan dari mas tukang ojek yang tak sempat kutanyakan namanya ini, ialah "jangan sampailah kita seperti orang-orang modern yang jauh dari budaya sendiri... tak apa kota kami tidak memiliki gedung-gedung megah (seperti pusat perbelanjaan dan tempat hiburan) asal (ke)seni(an) kami terjaga, supaya kelihatan kalau inilah masyarakat kami."
Di sela-sela perbincangan soal Bandung, saya sempat menanyakan di mana saja bisa kutemukan mini market. Lain sekali dengan di Bandung, mini market bisa ditemui dengan mudah, bahkan saling bertetangga! Rupanya ada aturan yang membatasi kehadiran mini market tersebut, "kasihan yang punya warung mas". Ya, saya sangat setuju -- walau sampai mengetikan semua ini saya juga termasuk pelanggan mini market daripada warung, sialnya si mini market ini menarwakan banyak pilihan dan kalau beruntung ada kasir cantik yang buat pandangan terpaku! Meskipun begitu, saya sadar betapa bergantungnya keperluan belanja pada mini market ini.
Bandung mungkin rumah untuk seluruh warganya, tapi diam-diam menelantarkan bahkan mengusir warganya melalui persaingan, kesenjangan, dan ketidakadlian. Berapa banyak mini market yang menjamur dan warung yang terpaksa tutup tiap tahunnya? Berapa banyak orang-orang yang bergantung (dibuat bergantung) pada mini market ini? Ini salah satu pertanyaanku untuk Bandung.
Menjelang pemilihan walikota baru, saya harap tulisan ini mewakili aspirasi dan harapan masyarakat yang menginginkan perubahan untuk Bandung yang lebih baik. Bandung hari esok yang seperti apa?