Tahun 45 telah tertinggal jauh, namun sampai hari ini kita masih saja harus berjuang sebanyak dua kali lipat, melawan bangsa sendiri. Apalagi kalau bukan karena penjajahan gaya baru yang menempatkan saudara bermental feodalistis, nasionalis, agamis, dan kekirian untuk bersitegang. Keadaan pun semakin memanas dengan dihembuskannya isu-isu tendensius diberbagai media, yang pada akhirnya menguntungkan pihak tertentu. Salah satunya di media sosial yang notabene digandrungi generasi muda.
Untuk menghadapi kondisi tersebut, saya mengajukan pentingnya perombakan cara berpikir generasi saat ini. Dari cara berpikir 'kawanan' yang berkeseleraan, menjadi holistik yang terbuka terhadap berbagai sudut pandang. Tentunya ini ditujukan untuk menyikapi era global beserta produk-produknya yang membius. Di mana media mempermak wacana secara hiperealistik, untuk disampaikan ke pikiran bawah sadar yang kemudian membuat kita mengidentifikasikan diri dengan isi wacana tersebut[1].
Cara berpikir 'kawanan' ini dapat ditelusuri kembali jejaknya pada tradisi oral yang kelisanan. Bentuk yang paling merosot dari hal ini adalah kelatahan. Semangat kelisanan tertuang dalam pola pergaulan komunal individu. Namun, ketika yang komunal ini mendahului individu, maka pendiktean menjadi niscaya di mana individu mau tak mau harus menerima dengan telinga terbuka. Sedang kelatahan sebagai refleks menjadi tanda bahwa individu tidak berkuasa atas konstruk yang diterapkan pada dirinya.
Berbanding terbalik dengan tradisi oral, tradisi teks menumbuhkan kepribadian yang beragam dan individualistis. Oleh karena teks menantang pembacanya untuk berkontemplasi dan menemukan perspektifnya sendiri. Teks sebagai 'anak' sang penulis diadopsi pembaca untuk ditumbuh kembangkan melalui proses reinterpretasi. Proses tersebut terjadi di tingkat intrapersonal yang secara tak langsung memperdalam kesadaran diri subjek. Dengan demikian, keunikan pribadi dapat ditemukan, meniscayakan keberagaman pribadi dan sikap individualistis karena berbagai perbedaan, yang mungkin sampai titik tertentu tak teratasi.
Bicara soal perbedaan, tentu itu merupakan takdir negeri ini yang berkepulauan dan dihuni beragam etnis dan suku. Dalam hal ini, tradisi oral memiliki andil untuk mempertahankan nilai luhur di tiap-tiap suku, untuk kemudian diwariskan ke generasi selanjutnya. Solidaritas inilah yang perlu dipertahankan beserta rasa kepemilikan di dalamnya. Kondisi buruk masa kini yang mengancam pewaris tradisi oral adalah berpaling pada kiblat luar dan menyuarakan eksistensinya melalui generasi kita saat ini. Di mana hal itu meleburkan keberagaman dengan membuat identitas lokal menjadi berjarak bagi pribadinya.
Memupuk tradisi teks, melalui budaya membaca dan menulis merupakan ikhtiar untuk mencapai cita-cita bangsa. Kegiatan membaca tidak bisa dibatasi, dengan kata lain tak ada kiblatnya. Maka dari itu, langkah awal menuju generasi otentik dimulai dari perbedaan, berani untuk berbeda! Perbedaan yang diamini oleh "bhineka tunggal ika" tentunya. Keberanian sebagai modal untuk ini adalah kesediaan untuk saling bergantung[2], karena kita berbeda dan dibatasi oleh kekurangan yang menyertainya, maka butuh digenapi dengan keterlibatan orang lain.
Apa yang diharapkan selanjutnya adalah adanya evaluasi. Evaluasi itu sendiri menempati hierarki pembelajaran tertinggi, sehingga proses ini mengajak orang-orang untuk mengasah wawasan karena melibatkan abstraksi, yang pada gilirannya mengevaluasi diri sendiri dan menemukan kiat-kiat untuk mengantisipasi kemungkinan masalah yang akan datang. Dari sisi lain, berarti menjalankan gaya hidup yang kreatif, menjadikan perbedaan dan keunikan dalam diri sebagai ide untuk dimanfaatkan, dan ditunjang dengan pengetahuan serta kebersamaan.
Setelah persiapan tersebut, langkah praktis yang dapat dilakukan pertama kali adalah belajar membaca makro. Menghayati keseharian, mengamati situasi di ruang publik, dan peka terhadap fenomena yang biasa luput dari pandangan.
Diikuti dengan kegiatan 'mendengarkan', yang juga berarti keterbukaan dan kesediaan untuk menerima transfer informasi tanpa menghambatnya dengan komentar yang tidak perlu. Kedua langkah dasar ini menjadi penting, mengingat secara sederhana kita tidak memahami masalah karena tak benar-benar menemukan apa yang jadi permasalahan.
Selama ini kita hanya dituntut untuk percaya, apalagi di media sosial yang mempermainkan kita melalui trik 'getok ular', menyampaikan gunjingan untuk disebarluaskan secara berantai. Pencacatan informasi semacam ini yang membuat arti dan makna berubah-ubah[3]. Akhirnya, kita dihadapkan dengan masalah yang 'tak berwajah', sulit dilacak kebenarannya.