Sabtu (19/10) malam, penggiat Pojok Budaya Kampung Dolanan Pandes Panggungharjo Sewon Bantul menggelar sarasehan budaya. Acara bertajuk ‘Padhang Mbulanan’ itu digelar setiap tiga puluh lima hari sekali alias selapanan. Meski malam itu, bulan enggan menampakkan dirinya, satu persatu hadirin memadati acara tersebut.
“Padhang Mbulanan merupakan acara selapanan alias tiga puluh lima hari sekali. Acara ini digelar tepat pada malam tanggal 15 menurut perhitungan kalender Jawa. Acara ini secara tidak langsung juga mengajak para hadirin agar ‘eling’ dengan perhitungan kalender Jawa. Anda boleh berbagi cerita apa saja pada forum ini”, demikian Wahyudi membuka acara tersebut.
Wahyudi, salah seorang penggiat Pojok Budaya yang juga Kepala Desa Panggungharjo Sewon Bantul mengajak hadirin untuk napak tilas sejarah Kampung Dolanan Pandes Panggungharjo Sewon Bantul. Menurutnya, mayoritas warga Dusun Pandes merupakan pengrajin mainan (dolanan) tradisional sejak pertengahan abad lima belas. Misalnya, othok-othok, kitiran, dan lain sebagainya.
Menurut Wahyudi, produksi mainan tradisional di Dusun Pandes sempat mandeg. Para pengrajin mainan tradisional mendadak gulung tikar. Hal ini disebabkan oleh masuknya mainan berbasis plastic dan elektronik produk luar negeri ke Indonesia. Ya, momentum itu mulai terjadi pada tahun 90-an. Mainan produk luar negeri beredar luas di segala penjuru Indonesia. Anak-anak Indonesia seakan terbius oleh kecanggihan mainan produk luar negeri itu. Sebutlah game boy.
Atas dasar itulah, pada tahun 1999 sejumlah pemuda Dusun Pandes melakukan upaya rekayasa sosial sebagai upaya membangun kembali semangat pengrajin mainan tradisional agar kembali berkarya. Perjuangan tersebut ternyata tak kunjung berhasil. Meskipun demikian, sejumlah pemuda tak patah arang untuk terus mengajak pengrajin mainan tradisional agar kembali berkarya.
Perjuangan tersebut seakan menemukan momentumnya. Yakni pascabencana Gempa Bumi yang melanda Kabupaten Bantul pada 2006. “Pada saat itu, sejumlah pemuda Dusun Pandes menyadari betul bahwa pascabencana tersebut kesadaran kolektif warga Dusun Pandes semakin meningkat. Maka dari itu, sejumlah pemuda Dusun Pandes kembali melakukan rekayasa sosial. Sejumlah pemuda itu mengajak seluruh warga Dusun Pandes, baik anak-anak, remaja maupun dewasa untuk melakukan pemetaan sosial. Peta tersebut memuat beragam informasi, mulai dari lokasi saluran air, tanah lapang, hingga tempat peribadatan. Namun ada hal yang terselip, yakni tidak adanya informasi mengenai tempat tinggal para pengrajin mainan tradisional”, urai Wahyudi.
Maka dari itu, Wahyudi beserta pemuda Pandes lainnya kembali mengingatkan kepada seluruh warga bahwa Dusun Pandes memiliki keunikan yang tidak dimiliki oleh dusun lainnya. Yakni para pengrajin mainan tradisional. Berkat upaya tersebut, para pengrajin mainan tradisional kembali tergugah untuk berkarya. Hingga pada 2007, upaya tersebut menuai hasilnya. Selain terbangunnya kembali semangat para pengrajin mainan tradisional, Dusun Pandes juga kebanjiran tamu yang tertarik dengan mainan tradisional.
Wahyudi menuturkan bahwa sejumlah pemuda Dusun Pandes yang tergabung dalam Pojok Budaya tidak sekedar membangun semangat para pengrajin mainan tradisional. Akan tetapi, juga melakukan upaya revitalisasi mainan tradisional. Yakni melalui penelusuran makna atau ajaran dibalik mainan tradisional.
“Othok-othok misalnya, mengapa mainan tradisional tersebut bersifat tiga dimensi? Hal tersebut ternyata tidak dibikin secara sembarangan. Akan tetapi desain mainan tradisional tersebut lahir berdasarkan karakter angin, yakni menyesuaikan arah hembusan angin. Artinya, para pengrajin mainan tradisional tersebut, khususnya di Dusun Pandes telah memiliki kesadaran geografis”, terang Wahyudi.
Selanjutnya, secara umum permainan tradisional warisan nenek moyang tak lain bertujuan untuk meningkatkan kecerdasan majemuk anak. Maka permainan tersebut mengandung empat hal, yaitu aspek verbal (wicara), gerakan tubuh (wiraga), kepaduan gerak (wirama) dan aspek batiniah (wirasa).
Menurut Wahyudi, permainan tradisional pasti memuat bunyi-bunyian. Hal tersebut dapat berupa syair, dialog ataupun nyanyi-nyanyian. Misalnya ungkapan ‘lor rel kidul sepur’ yang diucapkan berulang-ulang dengan kecepatan tinggi. Ini tak lain bertujuan untuk meningkatkan kemampuan anak dalam artikulasi kata atau kecakapan verbal. Lalu, hampir semua permainan tradisional tidak bersifat diam ditempat. Akan tetapi, sering dimainkan dengan gerakan tubuh. Ini bertujuan untuk meningkatkan kemampuan kinestetik anak. Selain itu, permainan tradisional juga memuat kepaduan gerakan tubuh (wirama). Hal tersebut hanya terbangun dengan proses kerjasama atau interaksi satu sama lain. Sehingga, secara tidak langsung permainan tersebut juga meningkatkan kemampuan personal maupun intrapersonal seorang anak. Dan yang tak kalah penting adalah aspek batiniah pada setiap permainan tradisional (wirasa). Maksudnya, setiap permainan tradisional tersebut selalu mengandung nilai atau ajaran tertentu. Misalnya, permainan ancak-ancak alis, permainan tersebut ternyata mengajarkan anak mengenai tiga belas tahapan dalam menanam padi. Artinya, setiap anak tidak merasa terbebani dalam proses belajar, sebaliknya anak justru merasa senang dalam proses belajar.
“Pada dasarnya, pemahaman mengenai nilai atau ajaran yang terkandung dalam permainan tradisional jauh lebih penting. Tak peduli permainan tradisional tersebut punah, asalkan nilai atau ajaran yang terkandung didalamnya sudah terpegang. Sebab, nilai atau ajaran tersebut bersifat kontekstual. Nilai atau ajaran tersebut dapat digunakan sebagai perspektif dimanapun dan kapanpun”, Wahyudi pun menutup uraiannya lalu mengajak hadirin untuk bermain ‘kacang goreng’.
Malam itu tak juga melulu membuat para hadirinnya berkerut dahi. Sebab, sesekali dalam obrolan tersebut juga diselingi music. Malam itu pun hadirin dapat menikmati jamuan makan malam. Ya, sayur lodeh dan tempe koro seakan berteriak:makanlah panganan local!
Diselingi alunan music, ‘Padhang Mbulanan’ pun dilanjutkan dengan uraian Bapak Buang, salah seorang pengrajin mainan tradisional. “Jika ada yang tertarik membuat mainan tradisional, maka jangan sungkan;datanglah kepada saya, nanti saya ajarin buatnya”, Buang menutup uraiannya.
‘Padhang Mbulanan’ kali ini terpaksa diakhiri lebih awal. Sebab, rintik hujan telah menyiram hingga basah kuyup pelataran Kampung Dolanan;tempat beradu bahu dan lutut para hadirin sarasehan budaya. Sekian!
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H