Ketika pada akhir abad ke-7 Dapunta Hyang Sri Jayanasa berhasil menduduki kawasan selat Malaka bersama puluhan ribu pasukannya, sejak saat itu Sriwajaya menancapkan tonggak sejarah sebagai thalassocracy atau kerajaan maritim yang dalam beberapa ratus tahun selanjutnya menjadi penguasa jalur pelayaran di selat Malaka.
Visi pahlawan keluarga Sailendra tersebut terbukti berhasil. Karena dengan menguasai jalur pelayaran selat malaka, Sriwijaya tidak saja dapat menarik pajak dari kapal-kapal yang melintasi di perairan tersebut, tapi juga menjadikan Sriwijaya memiliki kota pelabuhan yang dalam perkembangan selanjutnya amat ramai disinggahi para pedagang dari berbagai belahan dunia.
Visi Dapunta Hyang pada saat itu memang jelas tidak sekadar mengincar perolehan pajak dari kapal-kapal yang melintasi selat Malaka, tetapi juga ingin membangun sebuah kota pelabuhan tempat bertemunya berbagai saudagar yang berasal dari Persia, Arab, India, Tiongkok, dan wilayah-wilayah lainnya.
Dan visi itu memang terbukti berhasil. Bahkan dalam perjalanannya, kota Pelabuhan Sriwijaya tidak saja menjadi kota perdagangan tetapi juga terkenal sebagai pusat pendidikan agama Buddha terbesar di dunia pada saat itu.
Ada banyak tokoh besar pendeta Buddha yang terekam dalam litetur pernah belajar beberapa tahun di Sriwijaya. Misalnya, I Tsing pendeta Buddha tercatat pernah menetap di Sriwijaya di kisaran tahun 685-689 kemudian dilanjutkan pada 689-695.
Kemudian setelah kembali ke Cina ia seorang pendeta kepala sekaligus penasehat Dinasti Tang pada pemerintahan Wu Zetian (Permaisuri Wu) yang saat itu memang menjadikan Buddha sebagai agama negara seiring dengan tujuan mengkampanyekan klaim dirinya sebagai chakravartin yang dinubuatkan buddha sakyamuni.
Atisa Dipankara Srijnana yang terkenal sebagai seorang tokoh utama dalam penyebaran Buddhisme Mahayana dan Vajrayana abad ke-11 di Asia, yang dianggap sosok yang paling menginspirasi pemikiran Buddha di Tibet, juga tercatat pernah belajar di Sriwijaya selama 12 tahun.
Ia berguru pada Dharmakirtisri juga dikenal sebagai Kulanta dan Suvarnadvipi Dharmakirti, yang dianggap sebagai guru paling penting atau guru kunci Atisa.
Demikianlah, pencapaian luar biasa yang diperlihatkan leluhur kita di masa Sriwijaya mestinya menjadi fokus kita juga di di masa sekarang. Karena kenyataannya hingga saat ini, situasi ribuan tahun yang lalu di selat malaka masih sama dengan situasi yang ada pada hari ini. Selat Malaka tetap saja ramai dilalui kapal-kapal besar.
Beberapa sumber mencatat selat Malaka tiap tahunnya dilalui 70.000 hingga 100.000 kapal yang kebanyakan diantaranya merupakan kapal pelayaran antar benua.