Wacana pemindahan ibukota Negara Republik Indonesia ke luar pulau Jawa kembali bergulir. Kali ini perkembangannya bisa dikatakan selangkah lebih maju, setelah dalam rapat terbatas di Kantor Presiden, Kompleks Istana Kepresidenan, Jakarta, Senin (29/4/2019) Presiden Jokowi memutuskan untuk memindahkan Ibu Kota ke luar pulau Jawa.
Pertimbangan bahwa lokasi pemindahan ibukota negara mestilah berada di tengah wilayah Indonesia, mengerucutkan opsi pilihan ke pulau kalimantan dan pulau Sulawesi saja. Adapun daerah yang muncul menjadi opsi sejauh ini adalah: Palangkaraya (di pulau Kalimantan), Makassar, Pare-Pare dan Mamuju (ketiganya merupakan kota di pulau Sulawesi).
Kota Palangkaraya yang pada dasarnya tidak tepat berada di tengah wilayah Indonesia, diuntungkan dengan pertimbangan lain, yaitu bahwa daerah tersebut relatif lebih aman dari bencana gempa jika dibandingkan dengan Mamuju, Pare-pare atau Makassar di pulau Sulawesi.
Wacana pemindahan ibukota ini sebaiknya tidaklah hanya mempertimbangkan aspek kebencanaan semata-mata. Aspek lain, misalnya kesejarahan, sebaiknya pula turut dipertimbangkan. Untuk itu, tulisan ini berusaha menyampaikan aspek kesejarahan yang kiranya dapat pula menjadi pertimbangan.
Asal Usul Penguasa Nusantara sejak zaman Dinasti Sailendra
Historiografi Indonesia sejauh ini memang belum secara jelas mengungkap dari mana sesungguhnya asal dari Dinasti Sailendra. Itu karena banyaknya perbedaan pendapat di antara para ahli sejarah di masa lalu yang bisa dikatakan adalah pionir penyusunan historiografi asia tenggara di era modern.
Misalnya, R. C. Majumdar beranggapan bahwa wangsa Sailendra di Indonesia, baik yang di Jawa maupun yang di Sriwijaya, berasal dari Kalingga di India Selatan. G. Coedes lebih condong kepada anggapan bahwa wangsa Sailendra di Indonesia itu berasal dari Fu-nan atau Kamboja.
Menurut G. Coedes, ejaan Fu-nan dalam berita berita Cina itu berasal dari kata vnam atau bnam yang berarti gunung; dalam bahasa Khmer sekarang phnom. Raja-raja Fu-nan disebut parwatabhupala, yang berarti raja gunung sama dengan kata Sailendra. Setelah kerajaan Fu-nan itu runtuh sekitar tahun 620 M, ada anggota wangsa raja-raja Fu-nan itu yang menyingkir ke Jawa, dan muncul sebagai penguasa di sini pada pertengahan abad VIII M, dengan menggunakan nama wangsa Sailendra. (Sejarah Nasional Indonesia. Jilid II - Zaman Kuno, 2008. hlm. 114)
Menurut Przyluski istilah "wangsa Sailendra" itu menunjukkan bahwa raja-raja itu menganggap dirinya berasal dari Sailendra yang berarti raja gunung, dan merupakan sebutan bagi Siwa = Girisa. Dengan perkataan lain, raja-raja wangsa Sailendra di Jawa tentu menganggap leluhurnya ada di atas gunung. Hal ini merupakan petunjuk baginya [Przyluski] bahwa istilah Sailendra itu asli Indonesia. (J. Przyluski, "Cailendrawamca", JGIS, Vol. II. 1935, hlm. 25-36)
Nilakanta Sastri mengajukan pendapt bahwa Wangsa Sailendra di Jawa itu berasal dari daerah Pandaya di India Selatan. (K. A. Nilakanta Sastri, "Origin of the Cailendras", TBG, LXXV, 1935, hlm. 605-611).
J. G. de Casparis memunculkan pendapat yang kurang lebih sejalan dengan pendapat G. Coedes. Didasari atas istilah "waranaradhirajaraja" yang di temukannya di dalam prasasti candi Plaosan Lor, dan prasasti Kelurak. Ia mengidentifikasi "Waranara" itu dengan "Narawaranagara" yang kemudian ia kaitkan dengan toponim na-fu-na yang ada disebut dalam kronik Cina, yang kemudian ia asumsikan sebagai pusat kerajaan Fu-nan.
Selepas titik ini, Hipotesis de Casparis selanjutnya mulai nampak sejalan dengan pendapat G. Coedes, karena ia mengatakan bahwa ada di antara raja-raja Na-fu-na itu yang pergi ke Jawa dan berhasil mengalahkan raja yang berkuasa di sana, yaitu Sanjaya dan keturunan-keturunannya.