Lihat ke Halaman Asli

Rusuh Makassar: Kenapa Harus Polisi

Diperbarui: 26 Juni 2015   17:36

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Dalam setiap aksi yang menentang pemerintah, hampir dipastikan gerakan mahasiswa di Makassar bentrok dengan aparat kepolisian. Gerakan mahasiswa di Makassar yang cenderung bertindak anarkis sebenarnya bukanlah merupakan gambaran prototype mahasiswa Makassar secara keseluruhan. Tindakan brutal sekelompok mahasiswa tersebut adalah upaya mempertahankan diri, atau lebih tepatnya sebagai upaya mempertahankan identitas dan panji-panji organisasi baik organisasi formal maupun front gerakan insidentil. Aksi yang dilakukan lebih tepat dikatakan narsisme jalanan dan bukan merupakan aksi yang menyuarakan aspirasi masyarakat. Para korlap yang turun ke jalan pun hanya itu-itu saja. Sebagian besar 'pelaku' politik praktis di Makassar sudah mengenal para korlap tersebut, demikian pula jajaran kepolisian.

Sumber-Sumber Negatif
Perkembangan demokrasi di Indonesia telah membuka ruang untuk menempatkan pejabat-pejabat publik sesuai pilihan masyarakat. Dengan premis ini, para aktor yang syahwat kekuasaannya sangat besar mengoptimalkan segala sumber daya dan jaringan untuk bisa memperoleh dukungan sebesar-besarnya. Pemilihan anggota legislatif, bupati/walikota serta gubernur yang dilakukan secara langsung mengharuskan para kandidat memiliki mesin suara. Dalam prakteknya mereka berusaha memiliki 4 basis jaringan yaitu : tokoh masyarakat, tokoh agama, tokoh pemuda serta preman. Tokoh masyarakat diyakini mampu menjadi gerbong kekerabatan dan kharisma sang tokoh untuk mendongkrak popularitas kandidat. Tokoh agama membangun pencitraan moral bagi kandidat, tokoh pemuda akan menjadi gerbong yang dinamis dan mampu melakukan kerja-kerja kasar, serta preman sebagai bumper pengamanan. Simpul-simpul ini akan terus bekerja termasuk gerbong pemuda. Tokoh pemuda yang biasanya alumni perguruan tinggi dan pernah menjadi aktivis mahasiswa mengoptimalkan kinerjanya dengan memanfaatkan adik-adiknya dari almamater dan organisasi pergerakan mahasiswa. Sejak itulah para mahasiswa terlibat politik praktis. Akibatnya bisa diduga, para mahasiswa yang berhasil memenangkan kandidatnya akan memiliki banyak keunggulan antara lain : memiliki link langsung kepada pejabat publik, memiliki back-up politik, memiliki informasi penting untuk mengoptimalkan pergerakan dan tentu saja bantuan pendanaan bagi perkembangan organisasi maupun kepentingan pribadi. Itulah sebabnya mengapa aksi mahasiswa Makassar selalu dilakukan oleh segelintir korlap meski dalam baju yang berbeda-beda, karena korlap tersebutah yang memiliki semua keunggulan di atas.

Kenapa Harus Polisi
Aksi mahasiswa Makassar yang selalu berakhir bentrok dengan polisi dimulai oleh sumber-sumber negatif di atas. Hampir semua aksi yang berakhir bentrok di Makassar belakangan ini, bukanlah isu lokal melainkan isu nasional. Nyaris tidak pernah ada aksi yang mengkritisi kebijakan lokal. Pendidikan dan kesehatan gratis yang tidak pernah terealisasi dari janji Gubernur pada pilgub 2007 lalu yang menyatakan dalam victory speechnya bahwa semua janji pilkada yang disampaikan akan direalisasi dalam 100 hari pemerintahannya sampai kini Nol Besar. Tapi tidak ada sepotong pun mahasiswa yang melakukan aksi menagih janji tersebut. Kasus pengalihan Karebosi, alun-alun kota ke pihak swasta yang menjadi temuan dalam LHP BPK dianggap merugikan negara, tidak ada mahasiswa yang mempersoalkan. Penggunaan listrik Trans Studio investasi JK & Chairul Tanjung sebesar 10 MW di saat Sulawesi Selatan  krisis listrik yang mengakibatkan pemadaman listrik rumah tangga 3 kali dalam sehari @ 3jam, juga tidak ada aksi mahasiswa. Fakta ini memperjelas bahwa simpul-simpul mahasiswa telah dikerangkeng oleh pemilik kepentingan.
Dinamika mahasiswa yang selalu butuh aktualisasi diri dan narsisme jalanan 'mengharapkan' lawan dalam setiap aksinya. Tapi karena isu yang diusung adalah isu nasional, hampir semua pejabat lokal menganggap tidak punya kepentingan terhadap hal tersebut sehingga memutuskan untuk tidak peduli. Akibatnya bisa kita saksikan di TV, polisi yang bekerja berdasarkan komando dari Jakarta atas isu nasional tersebut akhirnya terpancing dan terjebak  berkonfrontasi dengan mahasiswa yang 'haus' lawan, apalagi mahasiswa tidak memiliki kepentingan dengan pimpinan polisi. Kata seorang adik mahasiswa yang saya temui di sebuah warkop, "untuk apa berbaik-baik dengan polisi, toh mereka tidak bisa membantu dalam waktu lama karena mereka selalu dimutasi". Nah lho. (FN)

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline