Generasi Z (Gen-Z), yaitu mereka yang lahir antara tahun 1997 hingga awal 2010-an, sering menjadi pusat perhatian dalam berbagai diskusi sosial. Di satu sisi, mereka dipandang sebagai generasi inovatif dan berorientasi digital. Namun, ada juga stereotip yang menyebut mereka sebagai generasi "lemah." Berikut adalah tujuh alasan utama mengapa Gen-Z sering dianggap demikian, meskipun pandangan ini tidak selalu adil atau akurat.
1. Kecanduan Teknologi
Gen-Z lahir dan tumbuh di era digital, di mana internet, media sosial, dan teknologi sudah menjadi bagian integral dari kehidupan sehari-hari. Ketergantungan ini kadang dianggap sebagai tanda kelemahan, karena mereka sering dikritik kurang mampu menghadapi dunia nyata tanpa bantuan teknologi.
2. Kurangnya Ketahanan Emosional
Banyak yang mengklaim bahwa Gen-Z kurang tahan banting secara emosional dibandingkan generasi sebelumnya. Hal ini mungkin terkait dengan meningkatnya kesadaran tentang kesehatan mental, sehingga mereka lebih sering mengekspresikan perasaan rentan mereka dibandingkan memendamnya.
3. Budaya "Cancel" dan Sensitivitas Berlebih
Gen-Z sangat aktif dalam membela isu-isu sosial seperti keadilan, inklusivitas, dan kesetaraan. Namun, mereka juga sering dikaitkan dengan budaya cancel, yang dianggap terlalu sensitif terhadap hal-hal yang dianggap ofensif. Sensitivitas ini sering disalahartikan sebagai kelemahan.
4. Minimnya Kemandirian Finansial
Di tengah meningkatnya biaya pendidikan, perumahan, dan kebutuhan hidup, banyak anggota Gen-Z yang masih bergantung pada dukungan orang tua lebih lama. Hal ini sering dilihat sebagai tanda kurangnya kemandirian, meskipun faktor ekonomi global juga berperan besar.
5. Gaya Hidup Serba Praktis
Generasi ini tumbuh di era kemudahan, dengan aplikasi untuk hampir segala hal, mulai dari makanan hingga transportasi. Kebiasaan ini membuat mereka sering dianggap malas atau tidak mau bersusah payah, meskipun realitanya mereka hanya memanfaatkan kemajuan teknologi.
6. Kurangnya Komunikasi Tatap Muka
Dengan dominasi komunikasi berbasis teks atau media sosial, Gen-Z sering dikritik kurang mahir dalam berinteraksi secara langsung. Hal ini menciptakan anggapan bahwa mereka tidak mampu menghadapi konfrontasi atau situasi yang membutuhkan keterampilan sosial tinggi.
7. Terlalu Fokus pada Kenyamanan
Banyak anggota Gen-Z yang mengutamakan kesehatan mental, kebahagiaan, dan keseimbangan hidup, daripada mengikuti norma tradisional seperti bekerja keras tanpa henti. Pendekatan ini sering dianggap tidak sejalan dengan nilai-nilai generasi sebelumnya, yang lebih menekankan pengorbanan dan kerja keras.
Stereotip bahwa Gen-Z adalah generasi "lemah" sebenarnya merupakan cerminan perbedaan nilai dan pengalaman hidup antar generasi. Alih-alih memandang perbedaan ini sebagai kelemahan, kita bisa melihatnya sebagai peluang untuk saling belajar dan beradaptasi. Gen-Z membawa perspektif baru yang relevan dengan tantangan zaman mereka. Bukankah adaptabilitas dan kesadaran akan kebutuhan diri sendiri justru merupakan kekuatan?
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H