Selama sebulan penuh, rohani dan jasmani kita menahan hal-hal yang membatalkan puasa---guna menambah daya imunitas tubuh dan juga iman. Rutinitas tahunan yang wajib kita tunaikan ini merupakan sebuah bulan untuk membentuk pribadi kita menjadi lebih bertaqwa. La'alakum tattaqun.
Semoga kita selalu berusaha untuk menanamkan sikap evaluatif dalam segala hal.
Beberapa hari kebelakang, Ramadhan diisi oleh hal-hal yang kurang etis dan merusak kekondusifan bulan yang mulia ini. Sebutlah insiden pengroyokan, kasus pencurian, tawuran dan beberapa peristiwa yang sangat mengacaukan kesucian bulan puasa.
Bagaimana bisa orang-orang merusak kesakralan bulan ini dengan hal yang remeh-temeh dan anehnya kasus-kasus demikian selalu terulang---entah dibulan Ramadhan ataupun diluar bulan Ramadhan.
Bukan hanya merusak kekondusifan bulan Ramadhan tetapi yang paling esensial adalah merusak ikatan sosial yang terjalin lewat nilai kemajemukan. Ini sesuatu hal yang sangat merusak sekali dan menimbulkan luka bopeng yang susah disembuhkan---bagaimana mungkin puasa mereka tidak bisa mengendalikan perilakunya yang serong itu.
Sekumpulan insiden tersebut mestilah kita lihat sebagai bahan pelajaran agar mulai detik ini juga hal tersebut jangan sampai terulang lagi.
1 Syawal 1443 H
1 Syawal datang diikuti gema takbir yang bersaut-sautan. Banyak orang bersedih sekaligus senang. Bersedih karena Ramadhan telah berpamitan, senang karena bulan fitri menghampiri.
Suatu waktu yang dimana setiap orang ada yang membeli baju lebaran baru, menghidangkan kue-kuehan, opor ayam dan juga ketupat. Tapi bukan itu yang esensial dari eksistensi hari nan fitri ini. Tapi yang paling esensial dan penting ialah menjadi pribadi yang kembali kepada fitrah (suci) karena telah melewati proses penyucian jiwa dan raga saat bulan Ramadhan.
Lewat pribadi yang suci itulah hati kita menjadi lapang untuk memberi dan meminta maaf. Kelapangan hati itulah yang menurut penulis merupakan suatu hal yang harus dirasakan bagi tiap-tiap insan manusia.