Lihat ke Halaman Asli

Fadlil Chairillah

Mahasiswa UIN Jakarta

Atas Nama Pers yang "Mencerdaskan"

Diperbarui: 10 Februari 2022   11:23

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Sumber gambar: mediafly.com

Di negara bersistem demokrasi, pers menjadi suatu tiang yang mesti tegak. Itu merupakan hal yang niscaya. Pers yang fungsinya menyampaikan berita, kabar maupun informasi dari berbagai daerah, sehingga masyarakat yang dibatasi ruang geografis pastinya punya jiwa penasaran yang tinggi dan sangat bergantung pada pers. Bukan karena alasan penasaran saja, masyarakat memang sejatinya perlu mengonsumsi informasi yang aktual supaya hidupnya bisa relevan dan adaptif terhadap perkembangan zaman.

Pada kenyataannya sekarang informasi yang dihasilkan oleh pers mengalami proses konvergensi dimana berita atau informasi di media elektronik maupun cetak beralih ke Internet. Bauran semua itu atau hasil dari sebuah proses konvergensi menciptakan kecepatan dalam mendistribusikan berita/informasi dan juga keefisienan dalam mengakses suatu berita.

Tulisan ini tidak ingin mencoba untuk melebar ke pembahasan yang lebih ilmiah dan luas tentang pers akan tetapi lebih membaca sedikit realitas pers saat ini. Apa yang saya lihat selama bolak-balik baca berita atau artikel di internet, tidak sedikit yang masih melenceng dari kode etik jurnalistik. Contohnya saja, ada portal berita online masih memuat berita yang berbau cabul. Itu jelas melanggar pasal 4 kode etik jurnalistik. Ada juga berita yang judulnya sangat sensasional dan berlebihan sehingga terkesan clickbait dan hanya mencari jumlah klik/views.

Fungsi pers sebagai media pendidikan harus diarusutamakan, karena disitu posisi strategis pers yang bisa mencerdaskan disamping fungsi menyampaikan informasi aktual. Berita atau informasi yang diolah para jurnalis jangan sampai menciptakan berita yang mengandung unsur pembodohan. Pers sebagai yang digantungkan dan ditunggu-tunggu oleh masyarakat, informasinya mesti bisa dipertanggung-jawabkan.

Kini, kata "kebebasan pers" tidak dimaknai sebagai kebebasan yang mengedepankan norma-norma sosial dan agama dan tanggung jawab, melainkan kebebasan yang didasari jumlah klik atau mengharap jumlah pembaca semata. Ini tentu perlu dijadikan pelajaran oleh seluruh kawan-kawan pers untuk tidak bertindak "bebas" yang seperti itu.

Melihat di situs kominfo, indeks literasi digital 2020 ada peningkatan dari 3,46 ke 3,49 terjadi pada pilar Digital Culture dan Digital Skills, tetapi mengalami penurunan pada pilar Digital Ethics dan Digital Safety. Penurunan itu ditandai oleh masih banyaknya masyarakat yang belum mampu melindungi dirinya di dunia maya, seperti contohnya mengunggah data pribadi secara sembarangan.

Berkaitan dengan kemampuan literasi digital masyarakat, peran pers juga perlu dikuatkan untuk memberikan wawasan dan membantu masyarakat terkait pentingnya literasi media. Dengan begitu, bisa membantu masyarakat untuk lebih paham dan bijak dalam mengomsumsi informasi yang dihasilkan oleh pers agar tidak termakan hoaks atau setidaknya mengenali mana informasi sampah dan mana informasi yang berkualitas.

Terakhir sebagai kesimpulan, melansir dari situs hukumonline.com, Dosen Universitas Padjajaran sekaligus seorang jurnalis, Abie Besman mengatakan "prinsip pers harus mencerdaskan, menyampaikan kebenaran, dan sarana kritik."  

Selamat Hari Pers Nasional, 09 Februari 2022.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline