Grave of the Fireflies (1988)
Japan Downfall
79 tahun lalu tepatnya 6-9 Agustus 1945 kita mengatahui jika Amerika menjatuhkan little man dan fat boy di Hirosima dan Nagasaki. Tetapi film Grave of the Fireflies ini bukan berlatar di Hirosima ataupun Nagasaki, film ini berlatar pada kota Kobe ibu kota Prefektur Hyogo, Jepang. beberapa bulan sebelum bom Atom tersebut dijatuhkan. Kota Kobe ini diserang Amerika dengan menggunakan bom incendiary yaitu bom pembakar. Alasan utama kota menjadi target Amerika dikarenakan banyak arsitektur bergaya rumah-rumah Jepang yang terbuat dari kayu dan bahan yang mudah terbakar. Grave of the Fireflies menggambarkan betapa mengenaskannya keadaan para penyintas dari bom incendiary. Dan film ini mengambil perspektif dari Seita dan Setsuko, dua kakak beradik yatim piatu dan tuna wisma akibat serangan bom incendiary. Tidak diragukan lagi film ini menjadi film yang sangat menyedihkan, tetapi dalam kesedihan tersebut ada kebahagiaan dan terdapat happy ending bagi Seita dan Setsuko.
Seita dan Setsuko
Seita dan Setsuko digambarkan sebagai kakak beradik yang masih muda belia. Seita sebagai kakak laki-laki, bocah smp kelas 9 berusia 14 tahun, Sedangkan Setsuko adalah balita yang berusia 4 tahun. Mungkin pada awalnya kita akan sedikit kesal pada Seita karena dia nampak seperti tidak becus mengurus adiknya yang sekarat akibat malnutrisi kekurangan makanan. Mengapa Seita tidak mencari kerja di ladang untuk beri makan adiknya? atau kenapa dia harus gengsi untuk pergi dari rumah bibinya karena sebatas di hina dan di cemooh? Tapi jika kita di letakan dalam posisi menjadi diri mereka, apa yang bisa kita perbuat saat masih remaja. mengurus diri sendiri saja belum becus, apalagi harus mengurus adik perempuan yang masih balita di tambah sakit pula. Kemudian jika melihat ayahnya sebagai militer jepang, Seita bisa di bilang berlatar belakang dari keluarga yang cukup berada. Sepertinya dia belum terbiasa untuk menjadi anak yang mandiri dan mengurus keluarga.
Tidak ada sosok antagonis dalam film ini. Jika melihat dari sosok bibinya yang menyindir dan mengusir dia, tidak bisa terlalu disalahkan juga. Karena dia juga telah berusaha untuk memberi makan dan menjaga keluarganya tetap hidup. Satu-satunya antagonis disini adalah keadaan, dan itu adalah perang itu sendiri.
Confession
Nosaka Akiyuki selaku penulis dari novel Grave of the Fireflies ini adalah salah satu korban dari perang tersebut. Dan cerita di film ini terinspirasi dari cerita hidupnya. Dia juga seorang kakak laki-laki yang memiliki adik perempuan yang masih kecil. Dan adiknya tersebut benar benar mati karena malnutrisi akibat dari perang tersebut. Menurut pengakuannya Akiyuki tidak sebaik Seita kepada adik perempuanya, dia cenderung keras dan bahkan makanan yang seharusnya dia bagi untuk adiknya terkadang tidak dia bagi dengan adil. Sampai dewasa dia tetap menyalahkan dirinya untuk kematian adiknya.
Refleksi Karakteristik
Banyak yang menyecam bahwa mengapa Seita harus gengsi untuk tidak pulang ke rumah bibinya itu. Tetapi sepertinya gestur ini sengaja diberikan oleh sang penulis filmnya karena ingin menyimbolkan pride atau gengsi dari bangsa Jepang itu sendiri. Panglima perang Jepang disimbolkan oleh Seita, yang mana bangsa Jepang dulunya merasa mampu untuk menguasai dunia dan tetap memaksakan hal tersebut sampai ke penghujung masa perang. Jepang menelan banyak korban tidak bersalah dari warganya sendiri yang dilambangkan Setsuko.
Plot dari cerita ini tidak beraturan. Namun sejak awal sebenarnya kita sudah bisa melihat happy ending bahwa penderitaan yang selama ini Seita dan Setsuko alami akhirnya berakhir. Mereka bisa tenang hidup di alam baka dengan bahagia, dan kembali bersama-sama. arwah mereka pun menaiki kereta menuju ke alam yang abadi.
Fireflies pada film ini nampaknya menyimbolkan ribuan jiwa-jiwa tak berdosa yang mati akibat perang. Pada akhir-akhir setelah Setsuko meninggal kita diberikan penggalan kehidupan Setsuko sebelum ia menghembuskan nafas. Dia bermain sendiri di sekitar shelternya tanpa kakaknya yang menemani karena sibuk mencari bahan makanan. Memang ini sungguh menyesakkan, tetapi hal itu memberikan kita gambaran bagaimana jiwa-jiwa dari para anak kecil yang tidak berdosa, tetap bisa mencari kebahagiaan dan menjadi terang di keadaan yang sungguh sangat gelap. Layaknya seperti kunang-kunang di malam hari.
Kelebihan di Atas Kekurangan
Terlepas film animasi ini rilisan tahun 1988 dimana frame per second-ya masih kaku, namun pada film ini terlihat sangat apik dan detail dalam pembuatannya. Terdapat pula pillow shot, pillow shot adalah potongan film tanpa maksud naratif yang biasa memperlihatkan hal random dan diisi dengan murni kehenigan selama beberapa detik. Bukan tanpa tujuan tetapi scene ini digunakan oleh pembuat film untuk memberikan waktu jedapada penonto sehigga penonton bisa merenungkan kejadian sebelum atau setelah pillow shot tersebut di ambil. Tidak heran mengapa film ini membuat para penikmat film menangis.
Moral
Film ini mengajarkan kita bersyukur akan keadaan. untuk mengambil kebahagiaan di setiap kegelapan yang melanda. Konflik, perang, dendam, dan gengsi hanya membuat kita semakin menderita dan besar kemungkinan membuat orang di sekitar kita ikut menderita.
Film Sebagai Pengingat Sejarah Kelam
15 Agustus 1945 adalah titik di mana perang di Jepang sudah berakhir dan setiap 15 Agustus film ini selalu diputarkan di layar kaca nasional. Fireflies pada film ini mungkin bisa menyimbolkan banyak hal, dari jiwa para koban yang tidak bersalah, bom api yang dijatuhkan oleh tentara Amerika, ataupun harapan akan generasi masa depan yang lebih cerah dan damai.
Daftar Pustaka:
https://cnbluegold.com/6507/opinion/grave-of-the-fireflies-review/
https://ahf.nuclearmuseum.org/ahf/history/little-boy-and-fat-man/
https://youtu.be/5eqlzLx3dFI?si=jC3_v_VKNemyhPU4
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H