[caption id="attachment_309278" align="aligncenter" width="300" caption="Foto: Mensos RI Salim Segaf Al Jufri saat Kunker Ke Tanjungpinang, didampingi Gubernur Kepri HM Sani"][/caption]
TKI Ilegal khususnya yang berada di negara jiran Malaysia semakin banyak saja. Baik yang sedang di penjara, menanti dibebaskan ataupun yang sedang bekerja dengan hati was-was karena khawatir tertangkap imigrasi atau polisi yang sedang merazia warga negara asing ilegal. Berdasarkan data yang saya peroleh dari satgas TKI-B Tanjungpinang, tahun 2012 ada 10.000 TKI – B yang dipulangkan melalui debarkasi Tanjungpinang, sementara dibandingkan data terakhir pada tahun 2013 ini jumlahnya naik secara signifikan menjadi 16.000 orang. Jika dibagi rata, perbulannya ada sekitar 1300 lebih yang dideportasi dan jika dikalikan lagi dengan berapa banyak uang negara yang harus digelontorkan untuk tiket, permakanan, sandang dan uang saku per kepala, sungguh biaya itu mungkin tidak sebanding dengan pendapatan TKI yang kemudian dikirim ke kampung halaman.
TKI yang bekerja di Malysia secara ilegal dan bekerja sebagai pembantu rumah tangga, sebagian besar tidak langsung mendapatkan gaji.5 atau 6 bulan pertama gajinya diambil oleh agen sebagai pengganti biaya akomodasi saat TKI diberangkatkan ke Malaysia sampai mendapatkan pekerjaan. Biasanya hal ini sudah diketahui oleh TKI sebelum berangkat. Karena tidak mendapatkan gaji selama 5 atau 6 bulan pertama, otomatis TKI belum bisa mengirimkan uang ke kampung halaman. Belum lagi jika setelah 5 atau 6 bulan pertama, sang majikan merasa tidak puas dengan kinerja TKI, maka majikan akan mengembalikan TKI ke agen tanpa diberi uang. Sang agen pun tidak mau mengambil resiko dengan menampung TKI yang tidak layak dipekerjakan apalagi jika TKI juga mengidap penyakit tertentu, maka TKI tersebut akan ditelantarkan dengan berbagai alasan. TKI yang kalut, terpaksa melapor ke kantor polisi dan akhirnya ditangkap karena tidak memiliki dokumen.
TKI yang bekerja di Malaysia banyak juga yang bekerja di sektor lain, seperti di pabrik, bangunan, pekebunan, salon dan laundry. Tapi menjadi pekerja rumah tangga lebih mendominasi. Banyaknya TKI ilegal yang bekerja di Malaysia tentu sangat merepotkan pemerintah Malaysia tapi menguntungkan bagi para kontraktor, pabrik, pemiliki toko, rumah makan atau juragan-juragan kaya yang ada di Malaysia. Mengapa? Tentu saja karena TKI ilegal ini tidak mampu memasang tarif tinggi. Mereka di bayar lebih rendah dibanding tenaga kerja yang berasal dari negara lain yang kebanyakan telah memiliki permit dan keahlian khusus. Tenaga kerja dari negara lain jumlahnya tidak sebanyak tenaga kerja yang berasal dari Indonesia. Ketika tenaga kerja dari negara lain banyak yang memilki keahlian maka kebanyakan tenaga kerja ilegal yang berasal dari Indonesia justru hanya bermodalkan fisik yang sehat dan kuat tanpa keahlian.
Dari beberapa tenaga kerja wanita dari Indonesia yang masuk secara ilegal dan pernah saya tanya tentang cara menggunakanalat elektronik, sebagian besar mengatakan tidak bisa. Bahkan menggunakan setrika baju pun ada yang tidak bisa. Lantas apakah tenaga kerja yang tidak memiliki kemampuan ini layak mendapatkan bayaran yang mahal? Jangankan mendapatkan bayaran yang mahal, karena pendidikan yang sangat minim dan buta huruf semakin membuat tenaga kerja Indonesia tidak memiliki posisi tawar, bahkan jika gaji mereka di tahan oleh majikan, mereka pun tidak berani meminta.
Berdasarkan penuturan beberapa tenaga kerja wanita, tenaga kerja yang berasal dari Indonesia terkenal sering membuat ulah. Tidak hanya ketika bekerja, mereka juga sering bertengkar dan mencuri saat berada di penjara Malaysia bahkan setelah ditampung di Tanjungpinang. Dari kejadian ini, TKI kita sangat membutuhkan bimbingan secara kepribadian dan agama secara lebih mendalam selain yangtak kalah penting adalah keahlian.
Banyaknya TKI ilegal yang memenuhi penjara Malaysia sering menuai kritik pedas dari berbagai kalangan. Saling menyalahakan dan lempar tanggung jawab pun tak terelakkan. Lantas, siapakah yang paling bersalah dalam hal ini?
Tentu saja tidak ada yang ingin disalahkan, masing-masing pihak merasa sudah memberikan yang terbaik. Namun banyaknya TKI ilegal tentu meninggalkan banyak pekerjaan rumah bagi kita semua dan harus segera diselesaikan. Permasalahn-permasalahan seperti: kontrol terhadap agen “nakal’’, membuka lapangan kerja sampai ke pelosok, pemberian sekolah gratis bagi warga yang buta huruf, sosialisasi ke daerah-daerah rawan TKI ilegal, pengurusan permit yang rawan calo, pembekalan secara skill, kepribadian dan agama, serta penjagaan di daerah perbatasan yang sering digunakan untuk menyeludupkan TKI ilegal sampai kepada budaya konsumtif yang harus dikurangi.
Orang Indonesia terkenal dengan budaya konsumerisme yang tinggi. Hal ini membuat warga negara kita tidak tahan jika harus hidup susah sehingga mudah untuk di bujuk dengan imbalan berupa uang. Pendidikan yang rendah semakin mendukung mereka untuk berfikir secara praktis. Asal mendapatkan uang maka mereka rela bekerja ke negri orang walaupun ilegal dan penuh dengan resiko. Hal ini membuat mereka nekat meninggalkan kampung halaman meski kadang tanpa restu orang tua dan meninggalkan keluarga.
Semua permasalahan yang menyangkut tenaga kerja ilegal merupakan hal yang kompleks, artinya kita semua harus bersikap “bijak’’ dan “perduli’’, bukan hanya “kita’’ sebagai institusi atau lembaga pemerintah, tapi kita semua yang tidak ingin saudara-saudaranya menjadi korban. Bagi yang paham tentang bagaimana mengurus dokumen untuk menjadi tenaga kerja secara legal tidak ada salahnya berbagi dengan masyarakat sekitar. Meskipun kebanyakan TKI ilegal berasal dari pelosok, tapi pasti ada pemudanya yang berpendidikan tinggi yang paham akan ketenaga kerjaan. Kita juga harus ‘’perduli’’, jangan hanya memandang sebelah mata kepada saudara kita yang mengalami kesusahan, tapi bantulah sebisanya, minimal ikut mengontrol jangan sampai anak-anak mereka menjadi korban perdagangan manusia.
Jika semua berkoordinasi secara baik dan tidak saling menyalahkan, maka permasalahan TKI ilegal ini akan menemukan solusinya. Dampakknya, TKI ini tidak lagi bermasalah, tidak lagi membuat bangsa ini malu tapi justru bangga karena TKI kita dicari bukan karena berharga ‘’murah’’ tapi karena kualitasnya.***
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H