Lihat ke Halaman Asli

Di Balik Pembredelan Radio Era Baru

Diperbarui: 26 Juni 2015   17:43

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

[caption id="attachment_82582" align="alignright" width="300" caption="Ilustrasi/Admin (Shutterstock)"][/caption] Kembali radio Erabaru FM di Batam mendapat surat peringatan dari Balai Monitoring (Balmon) Spektrum frekwensi Radio Kelas II Batam pada 15 Februari 2010, yang berisi perintah menghentikan kegiatan (off air). Menyikapi surat tersebut, pengelola radio itu dan Lembaga Bantuan Hukum (LBH Pers) sebagai kuasa hukum, mengadakan konferensi pers di kantor Radio Erabaru, Jl. Borobudur D1, Komplek Palm Hill, Bukit Senyum, Batam, pada Senin, 22 Februari 2010. Mereka mensinyalir perintah penghentian terhadap siaran radio itu sebagai bagian dari intervensi yang dilakukan oleh Pemerintah Komunis China untuk menghetikan kegiatan siaran radio Erabaru. Dijelaskan oleh Sholeh Ali dari LBH Pers bahwa surat tersebut merupakan bentuk intimidasi dan semakin memperjelas adanya intervensi dari pemerintah komunis China melalui Kedubesnya. “Tidak ada yang salah dengan siaran Radio Erabaru. Jadi pasti ada faktor lain yang mendorong upaya penutupan radio ini. Jelas bahwa ini adalah rentetan intervensi dari Kedubes China yang telah mereka lakukan sejak 3 tahun lalu,” katanya. Seperti diberitakan sebelumnya, permintaan ditutupnya Radio Erabaru yang bernaung di bawah PT. Radio Suara Harapan Semesta terjadi beberapa saat setelah pemerintah China mendatangi Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) pada 2007 silam. Tidak hanya sekedar itu, Kedubes China melayangkan surat yang berisikan permintaan dengan tegas untuk menghentikan siaran Radio Erabaru di Batam, karena memberitakan penganiayaan aktivis Falun Gong di China. Surat tersebut ditembuskan kepada beberapa lembaga negara, seperti Departemen Luar Negeri, Badan Intelejen Negara (BIN), Departemen Komunikasi dan Informatika, dan Departemen Dalam Negeri RI. “Ada intervensi dari Kedubes China karena pemberitaan tentang pelanggaran hak asasi manusia (HAM) di China. Sebagai radio yang profesional Radio Erabaru selalu memberitakan semua berita penting baik di dalam maupun luar negeri, apalagi peristiwa pelanggaran kejahatan, tidak mengenal batas wilayah, karena adalah tugas radio siaran dalam rangka penegakan hukum dan penegakan HAM,” tegas Sholeh Ali. Sementara pengelola radio Raymond Tan menyatakan, pihaknya sebagai lembaga penyiaran berhak memberitakan pelanggaran HAM yang terjadi dimanapun termasuk di China. Apalagi pelanggaran HAM di China masih terjadi sampai sekarang. Sebut saja penindasan terhadap kaum muslim Uighur, konflik Tibet, pengekangan pers, penganiayaan praktisi Falun Gong yang tidak bersalah dan pelanggaran HAM lainnya. Apalagi belakangan ditemukan fakta adanya kasus pengambilan organ tubuh dalam keadaan hidup yang dialami praktisi Falun Gong di kamp konsentrasi. “Kejahatan kemanusian terbesar ini harus diketahui oleh siapapun. Pemerintah Komunis China takut kejahatannya terungkap, maka mereka berusaha dengan cara apapun membungkam media yang menyiarkannya, termasuk Radio Erabaru,” ujar Raymond. Surat Cacat Hukum Terkait dengan adanya surat peringatan dari Balmon Batam, ditegaskan oleh Sholeh Ali, sangat disayangkan surat dari Balai Monitoring Spektrum frekwensi Radio Kelas II Batam tersebut, dikarenakan perkara Radio Erabaru ini masih dalam proses pengadilan. Terlebih lagi surat Balmon tersebut sudah merupakan bentuk intimidasi, karena sejak awal Radio Erabaru selalu mematuhi aturan. “Surat tersebut adalah cacat hukum, karena selama persidangan sebelumnya tidak ada bukti yang menyatakan bahwa Radio Erabaru telah melanggar hukum dan hingga saat ini masih diproses di MA, belum ada putusan,” kata Sholeh Ali. Setelah Radio Erabaru banding, proses peradilan masih berproses di Mahkamah Agung (Kasasi) setelah didaftarkan pada November 2009 lalu. Saat ini belum ada putusan yang berkekuatan hukum tetap (incrakh van gewidje). Ini berarti bahwa belum ada putusan yang mempunyai kekuatan eksekusi, sehingga sudah semestinya semua pihak haruslah menghargai proses hukum, karena ciri khas negara hukum. “Menghargai penegakan hukum adalah suatu kewajiban bagi setiap orang atau pejabat di instansi baik pemerintah maupun swasta. Mengingat kasus Radio Erabaru belum mempunyai kekuatan hukum tetap maka tindakan yang mendahului putusan pengadilan yang mempunyai kekuatan eksekutorial adalah tindakan tidak etis dan tidak berdasarkan hukum. Putusan pengadilan adalah yang tertinggi, pihak manapun termasuk pemerintah tidak bisa main hakim sendiri. Putusan ada di pengadilan,” jelas Sholeh Ali. Ia berharap MA dalam mengambil keputusan nantinya tidak mendapat intimidasi dari pihak manapun, sehingga keputusan yang dihasilkan benar-benar adil. Terhadap bentuk intimidasi, ketidakadilan yang dialami radio Erabaru, ia meminta kepada semua pihak yang terkait dengan proses kasus hukum Radio Erabaru agar taat pada aturan hukum dan menahan diri, menghargai proses peradilan serta tidak main hakim sendiri agar tercipta negara hukum yang benar-benar adil. Dukungan Internasional Kasus Radio Erabaru yang bergulir sejak 2007 silam ini, saat ini telah mendapat perhatian luas dari dunia internasional. Setelah sebelumnya pada Desember 2009, pihak Radio Erabaru mengirimkan surat terbuka kepada Presiden RI, Susilo Bambang Yudhoyono, kemudian diikuti oleh beberapa kalangan dari internasional mengirimkan surat dukungan. Perhatian tersebut diantaranya dari European Parliament (Parlemen Eropa) yang mengirimkan surat kepada Presiden RI tertanggal 2 Februari 2010, ditandatangani lima anggotanya. Isinya meminta Presiden RI untuk memberi perhatian terhadap kasus Radio Erabaru di Batam agar tetap on air. Sebelumnya Edward Mc Millan Scott, Vice Presiden European Parliament, mengirim surat serupa kepada Presiden RI, dari Brussel, Belgia tertanggal 13 Januari 2010. Selain itu David Kilgour, mantan menteri luar negeri Kanada mengirimkan juga surat dukungan untuk Radio Erabaru ke Presiden RI. Kilgour adalah salah satu penerima penghargaan internasional HAM tahunan di Bern dari Masyarakat Internasional Swiss untuk HAM, pada Januari 2010 lalu. Penghargaan diberikan atas laporan investigasinya berjudul “Bloody Harvest,” yang berisikan penyelidikan terhadap tuduhan perampasan organ praktisi Falun Gong di China. (rp)




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline