Malam ini,
mungkin aku tak sendiri
Tapi saat mengingatmu, seramai apa pun di sini
Aku juga sama, sendiri
...
Sebut saja namanya Nat. Aku mengenalnya dari teman dekatku, Bima. Kami pacaran di hari dan tanggal yang tak pernah kami ingat. Nat adalah pacar pertama sekaligus cinta pertamaku. Setelah lulus SMA, dia kuliah di luar kota, dan kami masih tetap melanjutkan hubungan long distance dengan perjanjian di atas materai, "Kita saling mencintai, aku percaya kamu, kamu percaya aku, jangan bosan, jangan nakal dan kita akan menikah muda!" begitu bunyinya.
Saat membaca novel Dilan karya Pidi Baiq, aku jadi teringat kertas perjanjian yang kami tandatangani berdua di atas materai enam ribu, tahun 2009 lalu. Sayangnya, tanda tangan dan materai saja tidak cukup untuk mengikat janji kami. Nat melanggar janjinya sendiri berkali-kali, dan aku selalu memaafkannya. Entahlah, kurasa jaraklah yang membuat hubungan kami menjadi tidak sebaik dulu.
Nat mulai berbuat curang. Dia mengencani beberapa teman kuliahnya, teman mainnya, teman naik gunungnya, dan salah satu teman dekatku. Bisa dibilang Nat itu playboy! Hm, ya ... dia memang tampan, dia bisa mendapatkan apa pun dan siapa pun dengan mudah. Dan aku terlanjur menyayangi Nat, entah karena sesuatu atau banyak hal yang pernah kami lakukan, membuatku begitu takut kehilangan, takut untuk melepaskan dan melupakan.
Dia memberiku helm warna pink yang ditempel stiker bertuliskan "HELM NU SI NYONYA", dia memberiku sebuah tas anjing yang juga berwarna pink, dia mengganti casing handphone-ku dengan warna pink, dan semua barang yang dia berikan padaku selalu berwarna pink. Aku tidak suka pink, tapi Nat memaksaku untuk menyukainya sampai benar-benar suka.
Aku masih ingat percakapan terakhir kami, seminggu setelah Nat menulis kata maaf penuh seisi buku lima puluh delapan lembar, sebagai hukuman. Nat kembali mengulangi kesalahan yang sama, meminta maaf dengan kalimat yang sama, merayuku dengan gombalan yang sama, dan ... hari itu, aku kembali memberinya maaf karena sebuah nama; edelweiss.
*