Pajak Pertambahan Nilai (PPN) merupakan salah satu sumber pendapatan utama bagi negara. PPN dikenakan pada setiap tahap produksi dan distribusi barang dan jasa, dan pada akhirnya dibebankan kepada konsumen akhir. Baru-baru ini, pemerintah Indonesia mengumumkan kenaikan tarif PPN dari sebelumnya 10% menjadi 12%. Keputusan ini menuai berbagai reaksi dari masyarakat, pelaku usaha, dan para ahli ekonomi.
Kenaikan tarif PPN menjadi 12% didasarkan pada kebutuhan pemerintah untuk meningkatkan penerimaan negara, terutama dalam rangka pemulihan ekonomi pasca-pandemi COVID-19. Pandemi telah memberikan tekanan besar pada keuangan negara, dengan meningkatnya belanja untuk penanganan kesehatan dan program pemulihan ekonomi. Selain itu, defisit anggaran yang membengkak selama pandemi memaksa pemerintah mencari sumber pendapatan baru.
kita ambil contoh dari Dampak Nyata terhadap Harga Barang dan Jasa misalnya,Kenaikan tarif PPN secara langsung akan memengaruhi harga barang dan jasa yang dikenakan PPN. Misalnya, jika sebelumnya harga suatu barang adalah Rp100.000 dengan PPN 10%, maka harga setelah PPN adalah Rp110.000. Dengan tarif PPN 12%, harga yang sama akan menjadi Rp112.000. Secara matematis, kenaikan ini terlihat kecil (hanya 2%), tetapi dalam skala besar, terutama untuk barang-barang mahal seperti properti, elektronik, atau kendaraan, kenaikan ini bisa signifikan.Kenaikan harga barang dan jasa akibat kenaikan tarif PPN dapat mengurangi daya beli masyarakat. Bagi masyarakat dengan pendapatan tetap, kenaikan harga akan membuat mereka harus mengalokasikan lebih banyak anggaran untuk kebutuhan pokok, sehingga mengurangi kemampuan mereka untuk menabung atau membeli barang-barang sekunder.Dampak ini akan lebih terasa bagi masyarakat berpenghasilan rendah, yang sebagian besar pendapatannya digunakan untuk memenuhi kebutuhan dasar.
Kenaikan tarif PPN menjadi 12% tidak lepas dari kritik. Beberapa pihak berpendapat bahwa kebijakan ini dapat memberatkan masyarakat, terutama di tengah kondisi ekonomi yang belum sepenuhnya pulih dari dampak pandemi. Selain itu, ada kekhawatiran bahwa kenaikan tarif PPN dapat memicu inflasi, yang akan semakin mengurangi daya beli masyarakat.Tantangan lain adalah bagaimana memastikan bahwa kenaikan tarif PPN tidak disalahgunakan oleh oknum-oknum tertentu untuk menaikkan harga secara berlebihan. Pemerintah perlu meningkatkan pengawasan dan transparansi dalam implementasi kebijakan ini.
Lantas PPN 12% ini Nyata atau Fiktif?
Kenaikan tarif PPN menjadi 12% adalah kebijakan yang nyata dan memiliki dampak konkret terhadap perekonomian dan masyarakat. Dampaknya dapat dirasakan melalui kenaikan harga barang dan jasa, penurunan daya beli masyarakat, dan peningkatan penerimaan negara. Namun, persepsi masyarakat mungkin berbeda tergantung pada jenis barang yang dibeli, tingkat pendapatan, dan kesadaran akan kebijakan perpajakan.
Agar kenaikan tarif PPN 12% tidak menjadi beban tambahan bagi masyarakat, pemerintah perlu mengimbanginya dengan kebijakan pendukung, seperti bantuan sosial, insentif bagi pelaku usaha, dan peningkatan transparansi dalam pengelolaan pajak. Dengan demikian, kenaikan tarif PPN tidak hanya menjadi angka di atas kertas, tetapi juga memberikan manfaat nyata bagi pembangunan ekonomi Indonesia.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI