Lihat ke Halaman Asli

Seanshine

Hooman

Cerpen | Jagoan

Diperbarui: 4 April 2019   08:53

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Image caption

Ada yang berubah belakangan ini, suhu yang tadinya 23C berubah menjadi 24C. Suara gemuruh yang tadinya samar-samar terdengar, kini sudah bergaduh nyaring. Dedaunan kering yang kuning kecokelatan berkumpul berterbangan dan membentuk pusaran angin kecil bercampur debu kemudian menabrak pepohonan dan pecah berhamburan. Begitu saja sejak 15 menit yang lalu, pemandangan sederhana yang menemaniku di tempat persembunyian.

"kenapa mereka lama sekali," keluhku, triingg ... triiingg ... ponselku berdering sontak saja aku langsung mengangkatnya "hei bodoh! Bersembunyi di mana kau?" suara seseorang yang sedang berbicara di telepon itu agaknya aku mengenalnya. Sial, ini Jhon anak kampung sebelah yang sering disebut-sebut sebagai singa penjaga perbatasan. Aku mematikan panggilannya tanpa bersuara sedikitpun dan kembali meringkuk di bawah tumpukan kayu tua, badanku gemetaran, keringat dingin mengucur deras dari keningku dan kakiku terkulai lemas. Mataku menjelajahi sekitar "hah! Kalajengking!" bagaimana ini aku tidak bisa bertahan lebih lama lagi di sini dengan keadaan begini.

Aku berjalan terseok-seok sambil sesekali berlari kecil karena racun sengatannya sudah bereaksi. Aku memetik beberapa bunga semak-semak untuk menetralisir racunnya, aku tumbuk bunga-bunganya dan menempelkannya pada betisku kemudian melanjutkan perjalanan pulangku.

"tidak semudah itu, Nak," seseorang bertopi hitam menghadang jalurku.

"who are you?" aku bertanya.

"huh?" dia mengerutkan dahinya, wajah yang tertutup itu hanya menyisakan sepasang mata tajam dan dahi yang lebar cukup sulit untuk dikenali.

"apa maumu?" aku bertanya lagi.

Tanpa menjawab pertanyaanku dengan cekatan tangannya sudah meringkus tubuhku yang lemah karena kehabisan tenaga, kemudian berbisik "kau yang ke 1001."

Sesak memenuhi rongga dadaku membuat mulutku sesekali megap-megap karena kesulitan bernafas, panas perih. Aku mengerjapkan mataku, seluruh ruang pandangku terlihat berwarna sama, biru kehijau-hijauan ah ... tempat apa ini. Semacam kapsul.

"selamat datang, Tuan Rahendra," seringainya tak asing lagi, orang bertopi hitam itu.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline