Perubahan iklim adalah fenomena perubahan jangka panjang pada suhu dan pola cuaca yang diakibatkan oleh aktivitas manusia, terutama emisi gas rumah kaca. Fenomena ini telah menimbulkan berbagai dampak serius seperti peningkatan suhu global, naiknya permukaan air laut, perubahan pola curah hujan, dan peningkatan frekuensi bencana alam. Hal tersebut tentu menjadi masalah yang serius jika pemerintah tidak berusaha menanggulanginya Dalam rangka menanggulangi risiko dan dampak dari perubahan iklim, Pemerintah Indonesia mengambil peran aktif dalam berbagai perjanjian internasional, salah satunya Perjanjian Paris.
Hal ini dilakukan dalam upaya mencegah peningkatan emisi gas rumah kaca secara global yang diimplementasikan melalui Nationally Determined Contribution (NDC) oleh setiap negara. Sebagai negara berkembang, Pemerintah Indonesia turut berkomitmen untuk mengurangi emisi gas rumah kaca sebesar 29% dengan usaha sendiri dan 41% melalui kerja sama multilateral pada tahun 2030 (Badan Kebijakan Fiskal, 2021). Buku pedoman penandaan anggaran perubahan iklim (2021) menyatakan bahwa Pemerintah Indonesia juga telah memperbarui Nationally Determined Contribution sebagai bentuk penyesuaian dengan dokumen pembangunan nasional, yaitu Rencana Pembangunan Jangka Menengah (RPJMN) 2020-2024, Visi Indonesia 2045, dan Strategi Jangka Panjang untuk Pembangunan Rendah Karbon dan Ketahanan Iklim 2050. Agenda pembangunan ini dilakukan melalui kegiatan Pembangunan Rendah Karbon (PRK) untuk mengurangi emisi gas rumah kaca dan intensitas emisi di sektor-sektor prioritas seperti energi, lahan, limbah, industri, dan kelautan.
Langkah yang telah diambil oleh Pemerintah Indonesia adalah penerapan skema cap and tax sebagai bagian dari kebijakan mitigasi perubahan iklim. Skema cap and tax menetapkan batas atas (cap) untuk jumlah emisi gas rumah kaca yang diizinkan dalam periode waktu tertentu dan mengenakan pajak (tax) pada perusahaan yang melebihi batas tersebut (Zefanya & Kennedy , 2023). Perusahaan yang melampaui batas emisi harus membeli izin emisi (emission permit) dari perusahaan lain yang berhasil mengurangi emisinya di bawah batas yang ditetapkan. Skema ini bertujuan memberikan insentif bagi perusahaan untuk mengurangi emisi gas rumah kaca dan mendorong inovasi teknologi yang lebih bersih dan efisien dalam produksi dan layanan. Selain itu, penerapan skema cap and tax juga dapat menghasilkan pendapatan tambahan bagi pemerintah melalui penjualan kredit karbon, yang dapat digunakan untuk mendanai proyek-proyek lingkungan lainnya. Kebijakan ini merupakan wujud komitmen Indonesia dalam mengurangi emisi gas rumah kaca sesuai dengan Perjanjian Paris.
Namun dalam pelaksanaannya, skema cap and tax juga memiliki implikasi negatif yang perlu diperhatikan. Potensi peningkatan biaya hidup konsumen disebabkan oleh perusahaan yang meningkatkan harga produk mereka akibat produksi emisi gas yang lebih banyak sehingga harus membayar pajak atas emisi gas rumah kaca yang melebihi batas yang diizinkan. Selain itu, harga produk yang cenderung naik juga menurunkan daya saing produk dalam pasar global dan menjadi kurang kompetitif. Potensi penghindaran pajak (tax avoidance) dilakukan oleh beberapa perusahaan dengan mengelabui sistem pelaporan atau memindahkan produksi ke negara lain yang menyebabkan turunnya penerimaan negara dan pertumbuhan GDP. Kemudian yang terakhir, skema cap and tax menghasilkan dampak sosial yang membuat mayoritas masyarakat yang bergantung pada sektor industri mengalami penggangguran. Hal ini akan terjadi jika kebijakan ini tidak diimbangi dengan program pelatihan dan bantuan transisi ke sektor lain oleh pemerintah. Angka kemiskinan negara akan terus meningkat. Secara keseluruhan, kebijakan mitigasi perubahan iklim Indonesia melalui skema cap and tax memiliki beberapa implikasi negatif yang perlu diperhatikan dalam implementasinya.
Maka dari itu, Implementasi kebijakan pajak emisi di Indonesia dapat diatasi oleh pemerintah dengan berbagai strategi dalam mengurangi dampak negatif yang muncul. Salah satu strategi adalah mengimplementasikan kebijakan pajak emisi secara bertahap. Pendekatan bertahap ini dapat dimulai dengan memperkenalkan kebijakan pajak karbon kepada sektor penghasil emisi gas rumah kaca (GRK) dalam skala kecil terlebih dahulu, lalu secara bertahap diperluas ke seluruh sektor penghasil emisi GRK setelah kebijakan tersebut diterima dengan baik. Selain itu, pemerintah dapat meningkatkan tarif pajak karbon secara bertahap apabila kebijakan ini sudah diterima dengan baik di Indonesia. Penyesuaian tarif dari waktu ke waktu diperlukan agar kebijakan pajak karbon efektif dalam menurunkan emisi.
Strategi lain yang dapat diterapkan adalah pengelolaan pendapatan pajak emisi dengan baik untuk meningkatkan dukungan publik terhadap kebijakan tersebut. Pendapatan dari pajak emisi dapat dialokasikan untuk membiayai pengeluaran sosial. Transparansi dan penggunaan pendapatan pajak emisi untuk memberikan kompensasi kepada rumah tangga serta membiayai transisi ke energi terbarukan juga penting untuk menguatkan kebijakan. Selain itu, pemerintah dapat mengkombinasikan kebijakan pajak emisi dengan berbagai instrumen kebijakan pengendalian iklim lainnya. Pengalaman dari berbagai negara menunjukkan bahwa kebijakan pajak emisi lebih efektif sebagai bagian dari portofolio mitigasi kebijakan perubahan iklim daripada sebagai satu-satunya solusi. Penerapan berbagai kebijakan dapat meningkatkan biaya kepatuhan dan menciptakan interaksi serta distribusi efek yang lebih kompleks (Tambunan & Tjoanto, 2022).
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H