Lihat ke Halaman Asli

Hevea Brasiliensis dan Macaca Nigra, Sebuah Harta di Bumi Kesultanan

Diperbarui: 21 Juni 2021   10:50

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Sumber : dokumentasi pribadi / Cagar budaya bumi saruma

Bukan lautan hanya kolam susu

kail dan jala cukup menghidupimu

tiada badai tiada topan kau temui

ikan dan udang menghapiri dirimu

orang bilang tanah kita tanah surga

Tongkat kayu dan batu jadi tanaman

Begitu potongan lagu yang menggambarkan Indonesia. Indonesia adalah negeri yang kaya. Potensi dan sumber daya alamnya sangat berlimpah hamparan hutan, lautan, minyak bumi, gas alam, batu bara, semua itu dimiliki oleh negara Zamrud Khatulistiwa ini. alam adalah ibu, pemberi segala kehidupan. pemberian tersebut haruslah dibalas dengan pemberian yang baik pula. Alam sudah memberi dan sekarang kita lah yag mengasihi. Namun, salah satu pertanyaan yang harus kita renungkan bersama adalah bagaimana cara kita menjaganya dan bagaimana hamparan kekayaan yang terbentang dari sabang sampai merauke ini dapat dinikmati oleh generasi-generasi yang akan datang. jawaban dari pertanyaan ini tentunya dengan menjaganya. seperti yang dilakukan kepada Hevea Brasiliensis (Pohon Karet) dan Macaca Nigra (Monyet) yang dilindungi di wilayah kesultanan Bacan.

Di ufuk timur, terdapat Las Illhas de cravo begitu orang portugis menyebut gugusab kepulauan rempah-rempah pada abad pertengahan, yaitu deretan pulau di Maluku Utara (bacan, jailolo, tidore, ternate) diantara gugusan kepulauan rempah-rempah tersebut terdapat empat kerajaan salah satunya yaitu kesultanan bacan yang melintasi zaman sejak berabad-abad silam. Bacan adalah keturunan kerajaan tertua Moloku Kie Raha (persatuan empat kerajaan), yakni Makian, Jailolo, ternate, dan Tidore. wilayah kesultanan bacan berada di selatan pulau halmahahera, berbatasan dengan laut maluku di sebelah barat dan utara, selat pantiti dan pulau halmahera di sebelah timur, serta pulau obi dan laut seram disebelah selatan. wilayahnya terdiri dari gugusan pulau, bacan merupakan pulau terbesar di beberapa pulau lainnya. sejak berabad lalu, kesultanan bacan membawahi masyarakay yang heterogen, yakni masyarakat adat tradisional, masyarakat beragama islam, dan penganut agama kristen. untuk menghindari perpecahan, sultan bacan mengembangkan konsep "saruma" saruma sendiri berasal dari bahasa bacan yang berarti "teman atau sahabat" atau secara filosofi berart "se rumah" yaitu di bawah atap satu rumah terdapat kamar-kamar yang berbeda, tetapi disatukan oleh sebuah rumah yang sama.

Daerah seluas 2,053 Km persegi ini selain memiiki masyarakat ynag heterogen, bacan juga memiliki kekayaan alam yang berlimpah. salah satunya adalah karet putih atau dalam bahasa latinnya hevea brasiliensis. sejara karet putih ini bermula ketika dulu lokasi hutan belantara seluas 400 hektar yang membentang melewati wilayah empat desa yakni hidayat, tomori, mandaong, dan kampung makian yang ada di bawah penguasaan kesultanan bacan dikontrak oleh perusahaan Hindia belanda yaitu Batjan Archipel Maatschappij (BAM) perjanjian tersebut tertuang dalam penandatangan kontrak antara sri sultan bacan ke 18 Jou Kolano Oesman sadik yang diwakili oleh Ompu Abdul Gani Bakari. wilayah yang ditanda tangani tersebut dijadikan hutan kopi. kesultanan mengizinkan pihak belanda membuat perkebunan bernama (BAM) tahun 1881. kerja sama dengan pihak belanda di jaga sultan agar tidak sampai pada taraf menindas masyarakat setempat. kkerja sama ini kemudia berlangusng sekitar 75 tahun dengan tujuan menciptakan kesejahteraan rakyat dan kemakmuran rakyat. 

dulu ketika musim hujan tiba, terjadi erosi dan banjir yang bermuara kedataran rendah tepatnya pada desa labuha dan amasing yaitu kawasan kesultanan bacan. untuk menghindari bencana tersebut, kemudia perusahaan asal hindia belanda ini menanam pohon karet sebagai pelindung dan penjaga erosi saat banjir. waktu demi waktu telah berjalan, pohon karet ini telah menapaki sejarah begitu panjang. kini pohon karet itu menjulan tinggi, akar dan rantingnya tumbuh besar. namun, pohon karet ini bukan untuk diambil getahnya melainkan menjadi cagar budaya yang dilindungi. cagar budaya ini dikembangkan dan dikelola oleh pemerintah. pemerintah setempat, membangun deretan rumah adat Buton, Minangkabau, Madura, Gorontalo, Bugis dan masih banyak jenis lainnya. yang menggambarkan keanekaragaman budaya yang hidup di wilayah ini.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline