Lihat ke Halaman Asli

Fadilah Nataneila

Pelajar Sekolah

Polemik Sila Kedua di Era Post-truth dan Kebebasan Informasi

Diperbarui: 24 September 2024   07:09

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

https://www.tauntongazette.com/story/opinion/columns/2011/12/02/mulligan-expressing-your-felines/41043789007/

                   Pancasila sebagai sistem etika yang menjadi sumber norma moral maupun norma hukum memiliki tujuan untuk menciptakan sistem politik yang sesuai dengan prinsip-prinsip negara demokrasi. Demokrasi sebagai pilar pelaksanaan pemerintahan konstitusional adalah bentuk politik idealisme pembangunan yang dalam implementasinya bergerak secara dinamis. Pada proses berdemokrasi saat ini, kebebasan dilakukan tanpa dibangun oleh nilai-nilai budaya (cultural value) sebagai bentuk dari pelaksanaan etika. Hal ini kemudian menimbulkan permasalahan baru. Fenomena anarkisme verbalis yang terjadi saat ini di media sosial adalah banyaknya hoax (berita bohong) yang beredar, kampanye hitam (black campaign), membangkitkan sentimen agama, serta perilaku tidak terpuji lainnya seperti saling menghujat, memfitnah, mengadu domba, dan lain sebagainya (Suryawan, 2018).

           Sebuah era yang dipenuhi dengan pengingkaran fakta dan akal sehat yang ditandai dengan munculnya berita-berita bohong (hoax) sampai teori konspirasi yang mudah sekali viral dan mengundang kepercayaan publik dikenal dengan era pasca-kebenaran (post-truth) dan mencapai puncaknya pada tahun 2016 (Kurniawan, 2018). Media mainstream yang awalnya dianggap sebagai sumber kebenaran yang dipercaya oleh masyarakat semakin ditinggalkan. Melalui kemudahan akses teknologi informasi pada saat ini, menekankan pada realitas pasca-kebenaran yang mudah tersebar di internet terutama melalui media social (Peters, 2018). Realitas pasca-kebenaran menunjukkan eksistensinya dalam dunia politik di Indonesia dengan opini subjektif dan legitimatif. Setidaknya dapat dicermati bahwa saat ini dengan meluasnya fenomena pasca-kebenaran di Indonesia disebabkan karena beberapa faktor, yakni: kemajuan teknologi informasi yang asimetris dengan kapasitas adaptasi pemerintah dan masyarakat, kompetisi politik yang tidak berkesudahan sejak pilpres 2014 dan 2019, dukungan dari masyarakat tertentu pada ideologi ekstrim anti Pancasila, kegelisahan dengan perubahan dan perbaikan sistem yang dilakukan pemerintahan saat ini (Sulistyo, 2017). Salah satu yang sangat mengkhawatirkan adalah adanya ideologi ekstrim yang anti terhadap Pancasila. Ideologi ekstrim ini disebarkan melalui internet yang basis utamanya dengan media sosial (social media). Pola penyebarannya memakai topeng politik, agama, radikalisme, maupun khilafah. Masyarakat tidak lagi bisa membedakan antara realitas faktual dan realitas artifisial, mana yang berhubungan dengan fakta dan mana yang tidak. Bahaya yang muncul dari budaya politik semacam ini adalah hilangnya daya kritis dan rasionalitas masyarakat. 

           Pada zaman reformasi saat ini, penerapan Pancasila sangat dibutuhkan oleh masyarakat, karena di dalam Pancasila terkandung nilai-nilai luhur bangsa Indonesia yang sesuai dengan kepribadian bangsa. Gelombang demokratisasi, hak asasi manusia, neo-liberalisme, serta neo-konservatisme dan globalisme bisa meminggirkan Pancasila dan dapat menghadirkan sistem nilai dan idealisme baru yang bertentangan dengan kepribadian bangsa. Berdasarkan Kresna, Aryaning, Agus, & Hendar (2012) bahwa ada beberapa cara yang mudah untuk memahami politik Pancasila, yang dapat dipakai untuk mengajukan kritik terhadap praktik Pancasila. Pertama, mempertanyakan tingkatan dijalankannya prinsip moral "menjunjung tinggi harkat dan martabat manusia". Hakikat dan konsepsi dari Pancasila ke-2 sebagai suatu sistem etika dimaksudkan untuk mengembangkan dimensi moralitas dalam diri sendiri sehingga dapat memiliki kemampuan untuk menampilkan sikap yang benar dalam bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara. Secara lebih detail, pada konteks kehidupan berdemokrasi di Indonesia, sejatinya langgam gerak pendewasaan kecendekiaan dapat menjadi tonggak bagi pencerahan kehidupan berbangsa di negeri ini. Sila ke-2 ini juga mengajarkan kita untuk selalu menjunjung tinggi nilai-nilai kemanusiaan, yaitu menghargai setiap individu tanpa memandang perbedaan, baik itu suku, agama, ras, maupun golongan. Dalam era post-truth di mana informasi mudah dimanipulasi dan kebenaran seringkali dikaburkan, nilai kemanusiaan menjadi sangat penting. Melalui sila ke-2 pada Pancasila, sebagai warna negara Indonesia seharusnya memiliki benteng dalam bertindak, berhati-hati dalam mengonsumsi informasi dan menyebarkannya kembali, sehingga menumbuhkan toleransi dan menghilangkan diskriminasi. Kebebasan berekpresi bukan berarti bebas menyebarkan kebencian, tetapi menjadikan diri kita untuk lebih menyadari hal dalam tidak untuk saling memprovokasi. 

(Selengkapnya di https://scholar.google.com/scholar?hl=id&as_sdt=0%2C5&q=Pancasila+sebagai+etika+politik+di+era+pasca+kebenaran+&btnG=#d=gs_qabs&t=1727097205618&u=%23p%3Dch9jE79RJDwJ).

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline