Dinginnya penyejuk udara ternyata tidak mampu membuat suasana rapat menjadi lebih sejuk. Rapat yang dimulai sejak sore belum berakhir hingga menjelang Isya.
Beberapa reporter sudah resah dan gelisah menunggu kapan rapat akan usai. Meski para produser dan koordinator liputan masih antusias menyimak petuah Sylvana.
Gorengan dan teh yang disediakan pun sudah tidak tampak lagi di atas meja. Tidak terasa, satu per satu bakwan, tahu dan pisang goreng dicomot pelan-pelan.
Mereka berusaha mengunyah makanan-makanan tersebut dengan tidak bersuara, tentunya karena takut menyinggung perasaan pemimpin redaksi yang terus bersuara tanpa ada kesudahan. Beruntung bagi reporter yang ada di bagian belakang, karena sedikit lebih leluasa, dibandingkan dengan para produser yang duduk di depan.
Beberapa kali pramubakti di kantor bolak-balik mengambil gelas-gelas yang kosong. Dia lalu kembali lagi dengan gelas-gelas yang sudah terisi teh manis. Benar-benar rapat yang menguras pikiran dan tenaga.
Sylvana sendiri masih asyik dengan teori-teori untung rugi dalam menjalankan perusahaannya. Sedikit pun tidak disinggung mengenai untuk apa dan bagaimana seharusnya media massa itu bekerja.
Baginya, rating dan share program televisi adalah di atas segala-galanya. Dia tidak peduli dengan peristiwa atau isu-isu politik yang lagi menghangat di negeri ini.
“Kecuali ada bom atau Presiden kita dibunuh, baru kita mengangkatnya menjadi isu utama,” demikian ditegaskannya kepada bawahannya pada suatu saat.
Saya pun hanya bisa bersabar menunggu rapat ini usai. Ingin rasanya cepat-cepat keluar dari ruangan ini, lalu melesat pulang menuju pembaringan. (bersambung)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H