1Fadia risqi dwiyanti, 2Muhammad Nofan Zulfahmi
Pendidikan merupakan salah satu aspek penting yang menjadi salah satu patokan antara maju atau tidaknya suatu negara. Kurikulum yang menjadi kerangka dasar dalam pendidikan, berperan besar guna membentuk generasi yang siap bersaing dengan dunia luar (Sukmadinata, 2019) terutama dalam aspek industri. Berbagai upaya telah dilakukan untuk memperbaiki ketertinggalan pendidikan di Indonesia dalam ranah global, namun tantangan dalam mengimbangi perkembangan dunia masih terasa. Tidak sedikit negara-negara maju seperti Finlandia, Jepang, dan Singapura telah berhasil mengembangkan sistem pendidikan yang mampu diadu di Tengah abad ke-21 ini. Regulasi yang mengatur kurikulum pendidikan di Indonesia tercantum dalam Undang-Undang, salah satunya Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, yang mengatur bahwa kurikulum adalah rencana dan pengaturan mengenai tujuan, isi, dan bahan pelajaran, serta cara yang digunakan untuk mencapai tujuan pendidikan.
Kurikulum Indonesia saat ini kurang mencerminkan prinsip-prinsip teori konstruktivisme, yang menekankan pada pembelajaran aktif dan kolaboratif. Siswa dihadapkan pada metode pengajaran yang lebih berorientasi pada penghafalan, yang membuat mereka kurang siap menghadapi tantangan di dunia (Harefa, M., et al., 2023) yang kompetitif. Selain itu, penerapan teori kognitivisme juga terlihat minim, di mana pengembangan keterampilan berpikir kritis dan analisis kurang diperhatikan. Hal ini menyebabkan lulusan tidak memiliki kemampuan untuk memecahkan masalah secara kreatif, suatu keterampilan yang sangat diperlukan di tingkat global.
Saat ini, Indonesia sedang berada dalam tahap upaya menyetarakan kualitas pendidikannya agar setara dengan tingkat internasional, terlihat dari banyaknya reformasi kurikulum, banyaknya perubahan mulai dari kurikulum 1947, 1964, 1968, 1975, 1984, 1994, 1997, KBK 2004, KTSP 2006, Kurtilas, hingga sampailah pada kurikulum Merdeka (Tampubolon, 2022) yang dianggap mampu menjawab tantangan abad ke-21. Kurikulum Merdeka hadir sebagai solusi setelah adanya suatu krisis pembelajaran, namun nyatanya kurikulum Merdeka kurang sesuai dengan ketersiapan peserta didik, guru, sekolah, dan teknologi agaknya. Karakteristik siswa yang terbiasa dengan materi dan teori hafalan, mungkin membuat mereka merasa keberatan dengan kurikulum yang baru ini.
Ada beberapa poin utama yang menjadi alasan mengapa kurikulum Indonesia kurang siap berkompetisi secara global (Suncaka, 2023) dan mengalami ketertinggalan, yakni:
a. Lebih fokus terhadap konten atau materi daripada keterampilan: Kurikulum Indonesia masih sangat berorientasi pada penguasaan materi dibandingkan dengan pengembangan keterampilan praktisnya. Banyak negara maju yang kurikulumnya lebih menekankan pada pengembangan kemampuan dalam berpikir kritis, pemecahan masalah, dan inovasi.
b. Kurang adanya Integrasi Teknologi dalam Pembelajaran: Jika kurikulum sudah sangat baik dan dirasa efektif untuk menghadapi era globalisasi namun tidak meratanya akses teknologi maka semua itu sia-sia. Siswa menjadi tidak bisa mengembangkan kemampuan literasi digitalnya, padahal yang dihadapi adalah era globalisasi.
c. Kesenjangan Kualitas Pengajaran: Salah satu kelemahan kurikulum Indonesia adalah kurangnya pelatihan yang memadai bagi guru untuk mengajar dengan metode yang lebih modern dan interaktif. Sedangkan di negara maju seperti Finlandia dan Singapura, mereka berinvestasi besar-besaran dalam pengembangan profesional guru.
d. Minimnya Pembelajaran Berbasis Kebutuhan Global: Kurikulum Indonesia masih belum sepenuhnya mengintegrasikan aspek-aspek penting dari kebutuhan global, seperti literasi keuangan, kewirausahaan, dan keterampilan global, serta mempersiapkan diri untuk dunia kerja yang kompetitif sejak dini.
e. Perubahan Kurikulum yang Kurang Konsisten: Reformasi pendidikan di Indonesia seringkali mengalami perubahan yang terlalu cepat atau tidak terencana dengan baik. Kurangnya pengimplementasian secara konsisten pada seluruh sekolah, adanya kebijakan juga menambah kebingungan bai guru dan siswa, sehingga pembelajaran menjadi terhambat dan kurang efektif
f. Kualitas Sarana dan Prasarana yang Tidak Merata: Amerika Serikat memperbanyak sekolah-sekolah yang dilengkapi dengan sarana prasarana yang mendukung proses pembelajaran, seperti laboraturium, perpustakaan, dan akses internet. Sedangkan di Indonesia terdapat kesenjangan dalam hal ini, yang menimbulkan ketimpangan dalam dunia pendidikan antara sekolah-sekolah di desa dengan di kota.